Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia Semenjak reformasi dicanangkan pada tahun 1998 di Indonesia jika kita menggunakan angka tahun itu sebagai titik tolak isu-isu politik kebudayaan mengemuka dan berkembang cepat. Salah satunya adalah isu multikulturalisme yang dipandang (diduga) dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa.

Integrasi nasional yang selama ini dibangun berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat sejalan dengan reformasi tersebut. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi tersebut.

Namun, desentralisasi sebagai keputusan politik nasional ternyata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa beraneka ragam suku bangsa, agama, kondisi geografi, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras.

Di masa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman itu adalah politik sentralisasi yang berpusat pada kekuasaan pemerintah yang otoritarian. Pada masa kini apabila konsepsi multikulturalisme itu digarap lebih jauh, selain dari keanekaragaman di atas, juga persoalan mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan yang juga mengandung kompleksitas persoalan.

Masalah model

Mengikuti Bikhu Parekh (2001) Rethinking Multiculturalism, Harvard University Press, bahwa istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni terkait dengan kebudayaan, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia.

Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan artinya perbedaan menjadi asasnya dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar, model kebijakan multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia? Kita mengenal paling tidak tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi persoalan di atas:

Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi.

Dalam kebijakan ini setiap orang bukan kolektif berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.

Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.

Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik- konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.

Multikulturalisme

Buku yang disunting Hikmat Budiman ini perlu diapresiasi tinggi karena lima hal.

Pertama, khususnya pada Bab Editorial, Hikmat Budiman mengungkapkan secara jernih kondisi dilematis multikulturalisme di Indonesia. Saya sepakat dengan penulis bahwa tidak satu pun dari tiga model dan kebijakan multikulturalisme di atas yang pas untuk kondisi Indonesia. 

Muncul kegamangan saat berhadapan dengan pertanyaan ”model apa yang sesuai untuk Indonesia?” Kegamangan yang sama ketika Kamanto Sunarto, Russell Hiang-Khng Heng, dan saya menyunting buku ”Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia: Stepping into the Unfamiliar”, (2004), Jurnal Antropologi UI, sebagai hasil suatu lokakarya tentang pendidikan multikultural di Asia Tenggara yang dihadiri pakar-pakar dari Asia Tenggara dan Australia pada tahun itu. 

Dengan kata lain, perlu pemikiran lebih lanjut secara mendalam suatu model multikulturalisme seperti apa yang seyogianya dikembangkan di Tanah Air.

Kedua, buku ini mengangkat dan membicarakan isu baru dalam wacana multikulturalisme di Indonesia secara komprehensif, yakni isu minoritas, khususnya hak-hak minoritas, yang diperhadapkan dengan isu mayoritas sebagai konsekuensi kalau berbicara dalam wilayah konsep ini. 

Yang menarik dan penting disimak adalah analisis historis yang merekam peralihan dari kebijakan politik sentralistis ke desentralistis, persoalan-persoalan yang muncul di masa lampau ketika sistem otoritarian itu bekerja, dan agenda persoalan kini yang dihadapi sistem demokrasi yang baru dan gagasan multikulturalisme yang melekat pada sistem demokrasi tersebut.

Ketiga, buku ini membicarakan multikulturalime dari bawah ke atas, yaitu mengangkat realitas empiris lima masyarakat minoritas di lima daerah di Indonesia, yakni komunitas Sedulur Sikep (orang Samin) di Jawa, oleh M Uzair Fauzan; pemeluk Wetutelu, Wet Semokan, Nusa Tenggara Barat, oleh Heru Prasetia; masyarakat Dayak Pitap, Kalimantan Selatan, oleh Riza Bachtiar; masyarakat di Cagar Alam Wana, Morowali, Sulawesi Tengah, oleh Ignatius Yuli Sudaryanto; dan masyarakat Tanah Toa, Bulu Kumba, Sulawesi Selatan oleh Samsurijal Adhan. 

Pendekatan dari bawah ke atas ini adalah ciri penting dari pendekatan kualitatif yang berupaya membangun suatu model di akhir kajian. Hal ini membedakan dari perbincangan mengenai multikulturalisme dan minoritas yang dimulai dari konsep yang dibawa dari luar untuk menjelaskan realitas di lapangan.

Keempat, meski dengan rendah hati editor mengemukakan bahwa sebagian dari penulis adalah masih peneliti yunior, saya justru menemukan tulisan- tulisan hasil penelitian ini seharusnya ditampilkan para penulis-peneliti senior. Isu, tema, dan analisis setiap tulisan menggambarkan penguasaan materi dan pendekatan yang baik sehingga secara keseluruhan buku ini penting dan bermutu untuk memberikan pemahaman kepada kita mengenai minoritas dan multikulturalisme itu baik dari segi konsep maupun model kebijakan politik kebudayaan.

Kelima, karena secara khusus menyoroti hak-hak minoritas, maka sangat relevan bahwa buku ini memasukkan dua tulisan penting, yakni tentang agama dan kebudayaan, isu minoritas dan multikulturalisme di Indonesia (Mochammad Nurkhoirun) serta hak-hak kelompok minoritas dalam norma dan standar hukum internasional hak asasi manusia (A Patra M.Zen). Dengan dua tulisan ini, buku ini membebaskan dirinya dari isolasi konsepsi lokal dan nasional karena isu multikulturalisme dan minoritas adalah juga isu global.

Saya sependapat dengan Hikmat Budiman bahwa tidak banyak karya yang terbit dengan pembahasan yang komprehensif mengenai multikulturalisme untuk konteks Indonesia. Apalagi kalau multikulturalisme tersebut dikaitkan dengan isu-isu lain yang melekat seperti minoritas, khususnya hak-hak minoritas. Maka, buku ini sangat penting bagi kita yang menaruh minat pada multikulturalisme dan minoritas khususnya, integrasi bangsa umumnya.


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News kompas]

Pentas Antropologi di Indonesia

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Pentas Antropologi di Indonesia-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Pentas Antropologi di Indonesia Waktu istirahat saat makan siang dalam sebuah seminar, sambil minum kopi di luar ruang, saya iseng tanya kepada seorang mahasiswa peserta, "Apa tujuan adik belajar antropologi?" "Nanti kalau tamat, saya kepingin jadi guide," jawabnya dengan polos.

"Turis-turis itu kan bayar mahal untuk melihat kebudayaan kita dan mereka butuh penjelasan tentang obyek-obyek yang mereka kunjungi."

Saya sangat terkesima mendengar jawaban si mahasiswa. Sebelumnya ada dugaan terlintas, dia pasti ingin jadi pengajar, peneliti, aktivis, atau mungkin juga konsultan. Jawabannya menggelikan, tetapi siapa tega menertawakan? Bagaimanapun, cita-citanya bisa memberi suatu jalan keluar yang baik di tengah-tengah barisan sarjana penganggur di Indonesia.

Tujuan mahasiswa yang menggelitik itu memang tidak bisa dilecehkan begitu saja atau dilupakan sebagai pendapat "orang yang belum mengerti" apa itu antropologi. Sebaliknya, pendapat semacam ini, senaif apa pun, harus dilihat sebagai cermin keterkaitan ilmu, kekuasaan, dan ketidakadilan.

Di Indonesia ilmu modern sangat terkait dengan "nilai guna". Di bawah rezim pembangunan, ruang untuk berfilsafat sangat sempit. Kalau pengetahuan tidak punya aplikasi langsung, dianggap tidak penting, malahan membingungkan atau membahayakan masyarakat yang seharusnya "berpembangunan-ria". Kewarganegaraan seseorang didefinisikan dengan penilaian sejauh mana intelektualitas, maupun subyektivitas, bisa ditujukan pada pengabdian negara dan modal. Demikian pula status antropologi yang berfungsi sebagai abdi-dalem pemerintah dan jarang memberi kesempatan kepada pemikir tandingan.

Namun, kecenderungan antropologi di Indonesia mendukungi status quo tidak bisa dibebankan hanya pada dosa Orde Baru. Asal-usul antropologi, di Barat maupun di Indonesia, terkait intim dengan sejarah kolonialisme. Para pejabat kompeni pada zaman dulu wajib menulis laporan bukan hanya tentang daerah yang akan diambil atau sumber daya alam yang akan dieksploitasi, tetapi tentang karakter masyarakat yang sedang dijajah.

Catatan semacam ini diberi nama etnologi, menawarkan penggambaran watak khas suatu masyarakat. Informasi ini digunakan untuk mempermudah penguasaan kaum pribumi. Antropologi menjadi sebuah teknologi utama guna menjalankan kontrol sosial serta memungkinkan pola penjajahan dengan sistem indirect rule: penundukan dilaksanakan melalui institusi lokal dan pemimpin setempat dengan kodifikasi hegemoni lokal atas nama adat.

Penekanan pada katalog perbedaan budaya memunculkan apa yang pernah diidentifikasikan oleh kritikus sastra, Homi Bhabha, sebagai paradoks kolonialisme: yang dijajah disuruh menjadi white but not quite, atau diajak berpartisipasi dalam struktur penjajahan lewat perbedaan mereka. Dari satu sisi, keaslian masyarakat dianggap, menurut "kebijakan etis" Belanda, sebagai sesuatu yang harus dijaga untuk mencegah yang lemah dari pencemaran gelombang "baratisasi". Tetapi, dari sisi lain, sistem ketidakadilan sosial diperkuat dengan melestarikan kelemahan tersebut. Dengan mengklasifikasikan dan memelihara diferensiasi budaya, antropologi Belanda bukan hanya mengizinkan kolonialisme berfungsi, tetapi menyelimuti kekuasaan dalam bungkus yang indah, moral dan ilmiah.

Setelah Pemerintah Belanda angkat kaki dari Tanah Air, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan lalu menyandang status sebagai negara yang sedang berkembang. Namun, antropologi masih terus dibayangkan sebagai ilmu yang bisa digunakan merapatkan kontrol sosial daripada ilmu yang benar-benar untuk pembebasan.

Melalui tangan Koentjaraningrat, salah seorang pendekar ilmu kebudayaan Indonesia, antropologi Indonesia menjadi alat penting untuk proyek nasionalisme. Praktik-praktik kultural yang sangat variatif dilihat menurut sebuah skala implisit yang mengukur sejauh mana kehidupan seseorang cocok dengan sebuah "kultur nasional" yang ideal.

Antropologi diberi tugas menggali "mentalitas budaya Indonesia" yang akan dijadikan modal sosial untuk menyokong pembangunan. Mahasiswa antropologi dikirim ke daerah-daerah "terpencil" untuk meneliti perilaku menabung, pola makan, sikap terhadap kebersihan, urusan mengisi waktu luang, nilai anak, budaya berlalu lintas, sampai pada konsep sehat dan sakit-informasi yang bisa dipakai untuk "memerdayakan" yang "belum berbudaya". Sedangkan di pusat kekuasaan nasional di Jawa dan Bali, antropolog-antropolog dikerahkan mengumpulkan informasi tentang "puncak-puncak kebudayaan" daerah yang mampu mempromosikan keberadaban Indonesia.

Meskipun antropologi di Barat dan antropologi di Indonesia lahir dari colonial encounter yang sama, di zaman pascakolonial mereka mengikuti jalur yang sangat berbeda. Di negara-negara Barat, dewasa ini antropologi, di antara semua cabang ilmu sosial, mungkin mempunyai status sosial yang paling marginal. Di antara semua ilmuwan sosial, antropolog rata-rata digaji paling rendah, sama dengan para "ahli marginalitas" lain di jurusan kajian perempuan, studi Afrika-Amerika, atau pusat kajian lesbian dan gay.

Antropologi sering dianggap sebagai disiplin yang "kurang ilmiah" sebab memakai metode berbicara langsung dengan masyarakat, dan memberi perhatian terhadap orang yang "tidak penting" di dunia ketiga atau kelompok pinggir dunia pertama. Status antropologi adalah cermin dari dekatnya cabang ilmu ini dengan mereka yang terpinggirkan akibat ketimpangan struktural yang terjadi pada masyarakat industri-kapitalis dengan aneka ragam masalah, seperti diskriminasi ras, ketaksetaraan gender, dan kemiskinan. Keakraban sang antropolog dengan kehidupan ghetto di perkotaan, pecandu minuman keras, penyalah guna narkoba, siasat hidup buruh, korban HIV, para migran, penghuni panti jompo, dan pengemis telantar menggeser kedudukan pengetahuan ini semakin ke "garis tepi".

Namun, di Indonesia, antropologi menempati posisi ganda. Meskipun antropologi dihargai sebagai ilmu yang berguna untuk "pencerahan", sebagian besar antropolog Indonesia melakoni hidup prihatin sebagai dosen atau pengajar dengan gaji yang serba pas- pasan dibandingkan dengan para ahli kedokteran atau ilmu politik-atau tentu saja politisi. Salah seorang teman dosen perguruan tinggi dengan tiga orang anak, ditambah tuntunan kredit rumah dan biaya SPP, mengakui dengan jujur bahwa jangankan mengajar, membaca buku kuliah saja tidak sempat karena sibuk mencari uang tambahan sebagai calo jual-beli mobil.

Dengan kesal dia mengeluh, "Karena masalah keuangan, beli buku anak- anak saya prioritaskan lebih dulu daripada beli publikasi baru." Antropolog-antropolog di dunia universitas juga menghadapi fasilitas minim dan ketiadaan perpustakaan yang memadai sebagai denyut jantung kehidupan universitas. Di sinilah salah satu dilema antropologi di Indonesia: punya posisi hegemonis karena memainkan peranan sentral dalam pembangunan sebagai peracik resep modernitas, tetapi dari sisi lain dianggap marginal karena bergumal dengan subkultur kehidupan mereka yang tak beruntung.

Dengan pendidikan dan harga diri yang begitu tinggi, banyak antropolog Indonesia sangat gampang ditarik dari kampus untuk mengabdi pada kapital. Begitu Pemerintah Indonesia berkeinginan menarik modal asing, antropolog menaruh minat pada jasa komersial. Mereka mengambil proyek penelitian yang disponsori oleh sektor swasta seperti perbankan, perusahan detergen, jaringan waralaba pramusaji, industri farmasi, maupun biro iklan yang ingin mengerti bagaimana menjual mi instan kepada suku-suku Papua yang lebih suka ketela dan sagu, atau bagaimana memasyarakatkan kondom, IUD, padi unggul, dan pupuk kimia.

Di Bali, antropologi juga bisa diuangkan lewat industri pariwisata. Kalau di zaman kolonial orang asing datang ke Bali untuk transaksi rempah-rempah dan budak, di zaman modern mereka datang membeli komoditas yang disebut kebudayaan dan para antropolog bisa berfungsi sebagai juragannya. Di Bali, untuk menyambut kedatangan sang pembawa devisa, berjamurlah sekolah pariwisata maupun perguruan tinggi yang menawarkan kurikulum "kebudayaan" yang dibidani oleh insan-insan akademis. Di sinilah terletak benang kusut diskursif antara pengetahuan, takhta, dan uang.

Penjajahan Teori

Keterkaitan antropologi di Indonesia dengan ideologi nasionalisme dan perjalanan kapitalisme global berpengaruh besar terhadap teori sosial yang berkembang di antara para ilmuwan lokal. Di Indonesia, dunia perguruan tinggi memang kental dengan iklim konservatisme, salah satu warisan yang terburuk dari rezim Orde Baru. Pembantaian 1965 menghapus ribuan pemikir kritis dari peta intelektual Indonesia, diikuti oleh program normalisasi kehidupan kampus yang bertujuan mensterilkan universitas dari ingar-bingar kehidupan politik.

Hubungan dunia akademik dan kekuasaan negara diresmikan lewat kebijakan bahwa semua dosen harus memunyai surat "bersih lingkungan" dan membuktikan kesetiaan mereka terhadap Pancasila dan P4. Kebanyakan posisi berkuasa di universitas-universitas di Indonesia masih ditempati oleh generasi pemikir yang bersedia berkompromi dengan syarat yang telah ditentukan.

Konservatisme teori juga diwarisi oleh rezim penjajahan. Sampai sekarang antropologi di Indonesia masih dipengaruhi oleh pemikiran kuno Belanda yang berusaha mencari struktur sosial dasar atau structural core di mana semua masyarakat Indonesia dibayangkan mempunyai persamaan dalil regularitas. Beberapa antropolog Indonesia saat ini masih sibuk mencari model klasifikasi dualisme, perputaran emas kawin dan persekutuan antarklan dan sistem kekerabatan yang "selesai" dan abadi daripada melihat perubahan sosial yang terjadi di depan mata mereka.

Orientasi teoretis yang lamban ini mempersulit antropologi melihat masalah genting yang dihadapi masyarakat sekarang. Seorang mahasiswa yang cukup cerdas pernah bertutur, bagaimana suatu hari dia dibentak oleh sang dosen ketika mengajukan proposal penelitian skripsinya tentang "politik ritual kekerasan 1965". Rancangan idenya ditolak mentah-mentah karena dianggap oleh bapak mahaguru tidak sesuai dengan bidang kajian antropologi. "Kekerasan itu urusan ilmu politik, bukan antropologi," kata sang pembimbing dengan singkat dan gamblang.

Sikap ini mungkin bisa dipahami sebagai internalisasi ketakutan: di negara yang begitu opresif, ilmuwan sosial dilarang turun ke lapangan untuk meneliti dan mencari dalang "ekonomi kekerasan." Namun, ini mungkin juga bisa dilihat sebagai operasi kekuasaan yang jauh lebih berbahaya daripada represi: semacam productive power, meminjam kata dari Foucault, yang bekerja lewat pemikiran orang.

Di Indonesia, kebudayaan dan kekerasan dibayangkan menempati dua ruang yang terpisah, yang tidak berhubungan sama sekali. Kebudayaan dilihat secara hierarkis sebagai sesuatu yang ada di "dunia atas" seperti di kerajaan, istana, dan departemen. Sedangkan kekerasan dianggap berada "di luar" atau di "dunia bawah," biasanya dilakukan oleh orang kebanyakan yang berkeliaran di pasar, kampong, dan jalan raya di daerah yang jauh dari pusat kebudayaan Jawa dan Bali, seperti Aceh, Papua, Poso, Ambon, dan Sampit. Potret kekerasan di Indonesia biasanya menggambarkan kekerasan "wong cilik" dari pembakaran pencuri, pembunuhan dukun santet, tawuran antarkampung, kerusuhan ulah para preman, pertengkaran etnis, sampai perselisihan agama dengan menyensasikan kekerasan sebagai sebuah gejala deformasi kebudayaan.

Dengan kesibukan antropolog mencari rumusan suatu tatanan, serta prinsip stabilitas suatu masyarakat, struktur sosial yang membuahkan ketidakadilan dan kekerasan sehari-hari masih bisa dibiarkan terbungkus rapi. Kalaupun disinggung, kerusuhan yang meletup dianggap sebagai sekadar "kelainan" yang bersifat sesaat, yang tidak berpengaruh terhadap model yang sedang dicari.

Di satu sisi, teori semacam ini merupakan satu bentuk "pengingkaran kemanusiaan" yang disebut oleh Fabian dengan istilah denial of coevalness. Di sisi lain, antropologi berkelit dengan "relativitas budaya" dengan argumentasi bahwa masing-masing kebudayaan memiliki logika internal sendiri. Inilah yang membuat kesan antropologi seolah-olah sekadar pengintip sosial yang sia-sia, seperti provokasinya Philippe Bourgois, seorang pakar "antropologi publik," yang menulis etnografi berjudul In Search of Respect dan menyebut antropologi cenderung menjadi "an upper class exercise of voyeurism."

Massa rakyat yang terjebak dalam kekerasan jarang tersuarakan oleh antropolog dibandingkan dengan suara para tokoh seperti kepala desa, ketua RT, ketua RW, kepala suku, atau kepala kepolisian. Orang-orang "lemah" dianggap kurang mampu mengartikulasikan apa yang menimpa mereka. Namun, seperti kebisuan seorang korban perkosaan, bukan mereka tidak mampu membicarakan apa yang telah dialami. Sebaliknya, antropologi kekurangan bahasa yang bisa mewakili kepedihan dan penderitaan orang.

Kecenderungan ini membuat antropologi seakan-akan pengetahuan yang berurusan dengan "kepala", tidak jauh beda dengan praktik di kalangan suku primitif yang berburu penggalan kepala manusia. Tanpa menciptakan praktik "mendengar" yang baru, ilmu sosial di Indonesia berisiko jadi semacam modern-day headhunting.

Sekarang di Indonesia memang ada manuver untuk meninggalkan apa yang disebut "aliran struktural-fungsional" menuju teori sosial yang lebih "modern" seperti pendekatan dekontrukstif dengan pembongkaran makna melalui tafsir hermenutis, post-modernisme yang memberi ruang pada pluralitas dan keterpecahan realitas, sampai pada apa yang disebut cultural studies yang membedah politik representasi, media massa, konsumtivisme, dan kelas sosial.

Sebagai praktik intelektual, cultural studies membedakan dirinya dengan arus "pemikiran utama", seperti kritik sastra, sejarah seni, atau antropologi melalui fokus terhadap teks yang diciptakan oleh kelompok pinggiran, seperti komik, seni rakyat, plesetan, musik alternatif, parodi, media alternatif, dan bentuk-bentuk ekspresi tandingan yang ada di luar jalur hegemonik. Sumber inspirasi berasal dari kritikus marxist Stuart Hall dari mazhab Birmingham School dan mencoba memberi suara pada perlawanan sehari-hari "kaum lemah" terhadap diskursus dominan.

Namun, usaha ini belum juga mampu keluar dari hubungan kekuasaan yang melilit antropologi di Indonesia untuk mengangkat suara mereka yang terbungkam. Di sini pemahaman seorang sosiolog pasca-marxis, Pierre Bourdieu, memang penting. Menurut Bourdieu, kekuasaan bekerja bukan hanya lewat kelas dalam arti hubungan yang tidak adil dengan means of production di dunia ekonomi, tetapi lewat produksi dan reproduksi "modal simbolis". 

Di Indonesia wacana kebudayaan dipakai untuk meminggirkan penciptaan budaya kaum lemah dan melihat perjuangan sehari-hari mereka sebagai sesuatu yang tidak punya nilai, sebagai cermin peradaban. Cultural studies bisa mencoba menyulap sistem penilaian tersebut dan menciptakan definisi baru "kebudayaan". Namun, menurut Bourdieu, kekuasaan juga berfungsi lewat habitus orang, praktik-praktik yang terbadankan yang mengandung trace of structural violence atau jejak kekerasan struktural yang melekat dalam hubungan sosial sehari-hari.

Kalau Bourdieu benar, tidak ada subyek yang bebas dari kekuasaan dan tidak ada ruang sosial yang steril dari power. Kalau begitu, untuk mengerti kekuasaan, tak cukup mengambil suara mereka yang terpinggir sebagai "suara alamiah perlawanan" yang murni dan tak terkorupsi. Teks yang diproduksi oleh mereka yang disebut massa marginal masih diciptakan oleh segelintir "brahmana" di antara ribuan massa paria. 

Dunia sosial berhierarki di antara para pengemis, pelacur, ekstapol, narapidana, pemadat, preman, dan buruh bukan hanya membuahkan solidaritas di antara mereka, tetapi juga saling hantam, saling jegal, bahkan saling bunuh karena struktur kehidupan yang membelenggunya.

Di sinilah penting menghidupkan antropologi sebagai ilmu pembebasan di Indonesia. Metodologi antropologi partisipasi-observasi yang mendekati masyarakat dengan memakai bahasa mereka, mendengar, dan melihat bagaimana mereka memaknai kehidupan sehari-hari dan melihat lebih akrab lagi struktur kekuasaan yang beroperasi dalam keseharian di antara mereka yang terpuruk. 

Daripada membaca "teks pinggiran" di kantor, dengan metode observasi-partisipasi si antropolog bisa meretakkan tembok tebal yang memisahkan dunia peneliti dan dunia yang diteliti untuk merasakan konflik, ketidakadilan, baku-tipu dan "ekonomi moral" yang meracuni dunia mereka. Hanya etnografi yang bisa mendeskripsikan "habitus" yang membelenggu kehidupan mereka yang tersisihkan.

Praktik cultural studies juga memunculkan sebuah bahaya baru: kalau di dunia Barat antropologi sering dikritik sebagai ilmu yang terpukau berat dengan kebudayaan lain yang eksotik, di Indonesia keterpukauan terbalik, memberi pemujaan yang berlebihan pada teoretikus impor pascakolonial sebagai ikon. Nama-nama empu kritikus keren seperti Baudrillard, Habermas, atau Derrida masuk dalam sebuah dunia ekonomi budaya pop, layaknya kegandrungan remaja ABG yang ngefans berat dengan grup rok alternatif yang menjadi idola mereka.

Untuk ilmuwan Indonesia, nama-nama teoretikus dan kutipan singkat mereka ditempelkan dalam teks seperti tempelan stiker nama pentolan para roker yang dipajang di helm, sepeda motor, mobil, dan pintu kamar kos. Mungkin ini sebuah taktik konpensasi dengan harapan-siapa tahu-kesaktiannya nanti bisa menular secara magis. Setidak-tidaknya ini membuat PD sang ilmuwan yang berasal dari negeri bekas jajahan menjadi terdongkrak, walaupun membuat wujud baru kolonialisasi, yang mengambil pengalaman orang marginal untuk membuat teks yang berwibawa daripada merealisasikan solidaritas yang nyata.

Mendiagnosis "Patologi Kekerasan"

Yang menjadi persoalan sekarang: bagaimana antropologi di Indonesia seharusnya memosisikan diri dalam menyikapi ketidakadilan? Apakah penelitian jalan terus dengan mengedarkan kuesioner yang terangkai indah tanpa kepekaan sosial pada perjuangan keseharian mereka yang tersisihkan? Menurut salah seorang dokter humanis, yang juga aktivis dan antropolog, Paul Farmer, yang dipertaruhkan oleh antropologi bukan hanya perdebatan akademis dengan adu kecanggihan teori, tetapi sebuah sikap pemihakan terhadap korban stuktural sebuah "patologi kekuasaan". Apakah antropologi tetap harus berpartisipasi dalam penyebaran virus opresi? Atau, bisakah antropolog di Indonesia memakai kemampuan mereka membangun komitmen baru serta mendiagnosis dan menyembuhkan patologi kekerasan?

Di era reformasi akhir-akhir ini budayawan berteriak lantang ketika seni etnik dilarang manggung, sistem kepercayaan yang dianut tak diakui, atau kurikulum tak bermuatan lokal, tetapi mereka tak terusik ketika masyarakat yang diteliti tak makan. Antropolog bekerja asyik mengumpulkan data untuk publikasi seru tentang ritus, kepercayaan, dan mitos lokal tanpa menghitung beberapa anak bangsa tidak bisa membaca sama sekali.

Haruskah ilmuwan sosial Indonesia hanya mementingkan tanggung jawab atas "karya besar" mereka sendiri, atau juga atas ekonomi moral di mana produksi intelektual terjadi? Antropologi berutang banyak dari kaum papa. Pengalaman yang didapat dari bergumul hidup dengan mereka yang terpinggirkan bisa menghasilkan karier, tetapi juga bisa menghasilkan senjata untuk menyerang mereka. Namun, antropologi bukan hanya sebagai pilihan profesi, tetapi juga "saksi" di mana tubuh korban kekerasan disiksa, disekap, dihancurkan, dibuang, diculik, bahkan dilenyapkan.

di Tulis Oleh: Degung Santikarma Pengamat Budaya, Tinggal di Denpasa


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News kompas]

Lapis Waktu Pengantar Manusia Bugis

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Lapis Waktu Pengantar Manusia Bugis-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Lapis Waktu Pengantar Manusia Bugis Setiap kali membaca buku sejarah dan kebudayaan yang ditulis dengan baik, setiap kali pula kita merasa berhadapan dengan sebentang peta yang digambar dengan apik. Yang ditemui di dalam karya itu memang bukan melulu lembaran peta ruang dengan bidang, jarak, koordinat, dan nama-nama tempat.

Yang dihadapi di sana lebih merupakan peta waktu yang bergerak menjawab sekaligus menciptakan berbagai perubahan. Dan waktu yang dipetakan di sana adalah waktu yang silam, waktu yang dulunya ditakdirkan terkubur hilang dari pengetahuan manusia, atau mungkin tersisa sebagai reruntuhan yang tak lagi utuh, yang dijerat dalam berbagai bentuk fiksi.

Tentang waktu yang hilang ini, seorang sastrawan Perancis yang mengarang novel paling kompleks di abad ke-20 yang baru lewat menulis:

”Dan demikian pula dengan masa silam kita. Adalah kerja yang sia-sia untuk merengkuhnya kembali: segala upaya intelek kita niscaya akan berujung gagal. Masa silam lenyap sembunyi di luar telatah pengetahuan, di seberang jangkauan intelek, di dalam obyek-obyek bendawi (dalam sensasi yang akan diruahkan oleh obyek-obyek bendawi itu pada kita) yang keberadaannya tak menilaskan pratanda apa pun. Dan bergantung pada nasib dan peluang buta belaka, dapat tidaknya kita bersua dengan obyek-obyek itu sebelum pada akhirnya kita meninggal.” Marcel Proust, In Search of Lost Time.

Tanpa memperkecil peran para cendekiawan Eropa lainnya, para cendekiawan Perancis tampaknya memang punya tempat khusus dalam gagasan tentang pemetaan waktu. Di simpang abad ke-19 dan ke-20, Marcel Proust dan Henri Bergson menggarap waktu yang berdenyut di dalam diri manusia, sementara Henri Poincare menggarap waktu kosmis yang dalam beberapa hal mendahului Albert Einstein.

Di antara waktu kosmis dan waktu personal itu, ada waktu social waktu sejarah. Di paruh pertama abad ke-20 sekumpulan ilmuwan Perancis yang kelak disebut sebagai ”Mazhab Annales” membentuk pendekatan baru dan revolusioner atas waktu sejarah. Dipelopori oleh Lucien Febvre dan Marc Bloch, dan dikukuhkan lebih jauh antara lain oleh Fernand Braudel, berkembanglah pendekatan interdisipliner atas sejarah yang dikenal sebagai Total History. Di Indonesia pendekatan ini jelas terlihat pada karya-karya keilmuan Anthony Reid yang sangat berharga, dan terutama pada tiga jilid karya raksasa Denys Lombard, Le Carrefour Javanais.

Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan terbitnya versi bahasa Indonesia karya raksasa Lombard itu, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jakarta: Gramedia, 1996), terbit pula edisi bahasa Inggris dari karya besar Christian Pelras, The Bugis (London: Blackwell, 1996). Tampaknya betul bahwa setiap upaya intelektual yang dimatangkan oleh waktu dan tekanan adalah sebutir intan yang amat berharga. Buku Pelras yang ditopang oleh riset lapangan yang luas selama empat puluhan tahun ini adalah salah satu dari intan yang berharga itu. Ia akan melengkapi rangkaian intan yang sudah ada dalam khazanah pengetahuan sejarah kita, baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara. Buku ini menjernihkan beberapa cahaya Manusia Bugis yang berkilau membutakan, sekaligus memperterang sejumlah cahaya lain yang redup oleh informasi yang tak memadai.

Meski banyak menganggap jazirah selatan Sulawesi sebagai sumber akar dan kampung halamannya, orang-orang Bugis hidup menyebar cukup luas di Asia Tenggara. Jejaknya terlihat di sejumlah tempat di wilayah utara dan barat laut Australia. Manusia Bugis yang jumlahnya sekitar empat juta jiwa itu, sebagaimana dinyatakan dalam buku ini, adalah salah satu di antara masyarakat paling menakjubkan di Asia Tenggara dan Pasifik, dan juga yang paling sedikit diketahui.

Salah satu cahaya yang coba dijernihkan buku ini adalah citra mereka yang menyilaukan dalam legenda dan fiksi modern di mana mereka banyak dihadirkan sebagai lalu diidentikkan dengan bajak laut yang menggetarkan dan niagawan budak yang menggiriskan; seakan-akan perompakan di laut lepas sekaligus perdagangan budak belian adalah mata pencarian alamiah dan satu-satunya yang mampu dikerjakan oleh Manusia Bugis.

Tentu saja ada, dan banyak, orang Bugis yang hidup meniti buih di samudra luas. Namun, sebagian besar di antara mereka, terutama yang hidup di kampung halamannya, dalam kehidupan nyata memang adalah petani, pekebun, pedagang, dan nelayan pantai. Richard Leaky, pakar ternama asal-usul manusia, tentu akan menandaskan bahwa orang Bugis adalah bagian dari umat manusia yang nenek moyang terdekatnya adalah peramu dan pemburu; dan yang menjadi spesies modern karena membangun kemampuan beradaptasi yang mencengangkan, membangun bahasa, seni, sistem nilai, dan kecakapan teknologis.

Bahwa orang-orang Bugis adalah salah satu masyarakat Asia yang menjadi pemeluk teguh ajaran Islam, sudah ditegaskan oleh cukup banyak kepustakaan. Begitu teguh mereka memeluknya sehingga Islam dijadikan bagian dari jati diri mereka. Di Tanah Bugis orang bahkan bisa membuka sejarah perang pembebasan budak dua setengah abad lebih sebelum perang pembebasan budak meletup jadi perang saudara di Amerika Serikat. Namun, seperti juga dibahas oleh buku ini, masyarakat Bugis yang sangat dalam menyerap Islam itu di banyak wilayah tetap mempertahankan berbagai bentuk peninggalan religio-kultural pra-Islam.

Sementara itu, trah bangsawan tradisional Bugis yang selama ratusan tahun menempati lapisan teratas tatanan masyarakat, menandaskan diri sebagai keturunan langsung dari dewa-dewa purba. Namun, trah ningrat penuh warna ini bukanlah despot dengan kekuasaan absolut: mereka memperoleh kekuasaan dengan semacam konsensus sosial yang ditandaskan oleh rakyat yang menawarkan kekuasaan itu kepada mereka.

Di Tanah Bugis, dan di tanah saudara-saudaranya di Sulawesi Selatan, rakyat memang lebih dahulu ada ketimbang raja. Dan rakyat yang tak puas pada pemerintahan seorang raja bisa bertindak memakzulkan raja tersebut, atau membubarkan diri sebagai rakyat lalu berpindah menyeberangi laut untuk mendirikan komunitas baru yang lebih bermartabat, sambil mungkin tetap membawa cerita tentang tappi’ (pendamping jiwa), tentang kawali dan badik, yang memilih tuannya sendiri.

Pertautan antara hal-hal yang tampak bertentangan oleh Pelras dianggap sebagai salah satu kekuatan utama masyarakat Bugis. Buku yang bukan sekadar terjemahan tetapi penyempurnaan dari edisi bahasa Inggris ini mengangkat cukup banyak pertautan antara hal-hal yang tampak bertentangan itu. Membaca buku ini, kita pun bisa menyimpulkan bahwa Sulawesi memang istimewa bukan hanya secara geo-ekologis tetapi juga secara sosio-historis. Dari Alfred Russell Wallace kita mendapat penegasan betapa geologi dan ekologi Sulawesi berbeda dari geologi dan ekologi kawasan barat Nusantara yang menjadi bagian Asia, sekaligus juga berbeda dari geologi dan ekosistem kawasan timur Nusantara yang menjadi bagian Australia.

Dengan cara yang lain, Pelras mencoba menunjukkan bahwa di masa silam masyarakat di Sulawesi, khususnya masyarakat Bugis, menempuh sejarah yang berbeda dari Masyarakat Jawa yang begitu dalam menerima pengaruh India, proses yang oleh Lombard disebut sebagai ”mutasi pertama” dunia Jawa. Ada sejumlah argumen yang diajukan Pelras, tetapi yang paling menarik adalah kenyataan yang oleh Pelras dianggap istimewa, yakni kemampuan masyarakat Bugis membangun kerajaan-kerajaan yang tak berpusat di kota-kota. Kemampuan ini tentu merupakan kontras dari masyarakat Jawa yang kerajaan-kerajaannya berpusat di ibu kota yang ditata menurut sebuah struktur konsentris.

Hal lain yang menarik dari masyarakat Bugis adalah bahwa sekalipun mereka telah membangun kerajaan-kerajaan yang tidak berpusat di kota-kota, mereka juga membangun sejumlah struktur epistemik yang bisa dikatakan berpusat. Yang paling menonjol di antara semua struktur itu adalah epik mitologis La Galigo. Narasi besar yang berkisar pada apa yang dianggap sebagai genesis manusia dan kerajaan tertua yang dijunjung di Tanah Bugis ini adalah pusat yang dengannya masyarakat Bugis Lama menjangkarkan dan menata diri.

Yang tertarik ke dalam gravitasi dan kemudian mengorbit di sekitar epik mitologis La Galigo ini bukan lagi kerajaan-kerajaan Bugis tapi juga beberapa kerajaan dan komunitas lain yang ada di luar semenanjung selatan Sulawesi. Tentu bukan hanya karena fungsi penataan dan pengaturan dunia yang disediakan oleh narasi raksasa La Galigo ini, yang ikut mendorong Pelras menjadikan La Galigo sebagai bahan bagi sebuah rekonstruksi hipotetik prasejarah Bugis.

Paling luas

Walau belum sebanyak kepustakaan tentang Jawa, kepustakaan tentang Bugis sudah banyak juga yang terbit. Sarjana-sarjana Bumiputera sendiri, seperti HA Mattulada dan Hamid Abdullah untuk menyebut beberapa nama, telah menghasilkan karya intelektual yang cukup penting di bidang ini. Namun, yang menarik dari karya Pelras adalah bahwa buku inilah yang pertama dan yang sejauh ini paling luas mengurai sejarah orang-orang Bugis.

Cakupannya terentang dari kurun fajar antropologis sekitar 40.000 tahun yang silam yang darinya kelak memunculkan leluhur masyarakat Bugis, kurun peradaban awal yang sejumlah unsurnya dibingkai dalam siklus La Galigo, hingga ke masa kini masa masuknya masyarakat Bugis menyongsong fajar alaf ketiga, setelah melebur diri ke dalam satuan sosial politik yang lebih besar.

Telaah Pelras yang luas dan telah menyedot hampir 2/3 dari usianya itu seakan mengupas lapis-lapis waktu yang membentuk sejarah dan kehidupan masyarakat Bugis: lapis-lapis waktu yang tanpa kegigihan para ilmuwan seperti Pelras akan benar-benar tertimbun lenyap di luar ranah pengetahuan, di seberang jangkauan jernih intelek.

Proust agaknya betul bahwa tergantung pada unsur nasib dan peluang saja seseorang dapat bersua dengan obyek bendawi dan sensasi yang diruahkan oleh obyek bendawi itu, yang memungkinkan seseorang menemukan dan menghidupkan kembali masa-masa yang sudah silam itu.

Dalam hal masyarakat Bugis, agaknya unsur kebetulan dan nasib baik yang bagi sebagian cendekiawan Bugis bahkan terasa nyaris mendekati berkah itu pula yang membuat mereka mendapatkan seorang Christian Pelras, seorang ilmuwan yang praktis tak punya hubungan kekerabatan apa pun dengan masyarakat Bugis, kecuali sekadar kekerabatan sebagai sesama anggota subspesies Homo sapiens sapiens.

Sudah umum diketahui bahwa sejak beberapa dekade yang silam, upaya-upaya intelektual para ilmuwan Barat mengaji negeri-negeri Timur telah mendapat tanggapan kritis bahkan mungkin sinis, dan mereka pun sebagian dicap orientalis yang merupakan perpanjangan tangan nafsu imperial untuk menundukkan Timur. 

Para ilmuwan Timur pun berupaya memanggul tanggung jawab meneliti dunia mereka sendiri, dan beberapa di antaranya telah menghasilkan karya dengan mutu intelektual yang menonjol. Apa yang dilakukan oleh sejumlah ilmuwan asing di negeri-negeri yang dikajinya, sebagiannya memang berupa penggambaran peta yang tak jarang sangat simplistis dan digunakan untuk membekukan sekaligus menundukkan wilayah itu.

Namun harus juga diakui bahwa sejumlah peta sejarah yang dihasilkan oleh para ilmuwan asing itu sungguh lebih halus dan lebih realistis dari kebanyakan peta yang digambar atau diangankan oleh para cendekiawan pribumi sendiri. Peta masa silam Jawa yang disajikan Lombard, dan peta masa silam Bugis yang dihadirkan Pelras, adalah contoh dari peta-peta yang dimaksud.

Di bagian akhir buku ini Pelras mengangkat pertautan masyarakat Bugis kontemporer ke dunia global mutakhir yang berlangsung relatif tanpa guncangan dan penolakan kultural. Pertautan ke dunia yang sedang tumbuh itu, yang bagi sejumlah besar Bugis bahkan menjadi pilihan satu-satunya untuk tegak sebagai manusia, terdedah jelas dalam pemaparan naiknya lapis pemimpin dan masyarakat baru Bugis yang mengandalkan bukan pendakuan silsilah supramanusiawi. 

Mereka bangkit (tompo) antara lain karena keyakinan akan nasib (toto) yang wajib ditawar dan dibentuk sendiri di tengah segala keperitan, dan penguasaan pengetahuan rasional yang diserap dari berbagai tempat di luar Tanah Bugis, sampai ke belahan bumi yang lain.

Ada memang sejumlah anasir dalam kebudayaan Bugis yang membuat perengkuhan atas dunia global mutakhir yang menaruh hormat pada gagasan tentang universalitas akal yang menuntun dan manusia yang bertindak menjadi sesuatu yang tampak organik. Pelras misalnya menyajikan bagaimana kebudayaan Bugis menyediakan ruang bagi gender ketiga dan keempat (calabai dan calalai), dan bagaimana perempuan menduduki tempat yang benar-benar sejajar dengan lelaki, dengan hak setara dalam merumuskan kebijakan-kebijakan kerajaan sekaligus bertakhta memerintah kerajaan itu. 

Dalam sejumlah peristiwa, bahkan di masa ketika abad ke-20 belum menjelang tiba dan Simone de Beauvoir belum mengarang The Second Sex, perempuan telah tampil lebih bernyali dan berotak dari para lelaki, menandaskan keputusan-keputusan penting yang mempertaruhkan masa depan kerajaan.

Kesetaraan gender dan penyediaan ruang pada gender yang lain itu adalah sebagian dari hal-hal yang membuat tercengang banyak penjelajah Eropa yang pernah singgah di Tanah Bugis. Meski tak terlalu panjang lebar, Pelras menyajikan banyak hal dari tradisi Bugis yang tampak mendahului zamannya, yang beberapa di antaranya juga terdapat di bagian lain di Asia dan Pasifik, dan dengan itu menyangkal sekali lagi banyak gagasan usang tentang Dunia Timur, sekaligus menandaskan adanya kesamaan dan potensi universal umat manusia yang akan berkembang rimbun jika keadaan dibuat memungkinkan.

Mungkin kelak akan ada orang yang dengan bekal antara lain peta Bugis Pelras berhasil mengangkat sejumlah tempat penting yang telah tertimbun waktu, namun senantiasa disebut dalam puisi epik La Galigo. Kemungkinan lain adalah bahwa sejumlah ilmuwan dan peneliti, dengan bantuan teknologi yang makin halus, akhirnya membuktikan betapa peta yang disusun Pelras ternyata, pada beberapa bagian, memang tak terlalu akurat menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.

Namun, bahkan sejarah kartografi dunia pun dipenuhi oleh sejumlah kekeliruan yang terus-menerus dikoreksi; kekeliruan yang selain telah membantu manusia mengubah dunia di abad-abad yang silam, juga kini dihargai sebagai karya seni yang ikut merekam perkembangan pandangan dunia manusia. Peta waktu Bugis Pelras pun, termasuk peta prasejarah yang dengan tegas dan rendah hati dikatakannya sebagai hipotetik itu jelas akan membantu banyak pihak, bukan hanya Manusia Bugis yang terus berupaya membentuk masa depannya sekaligus masa depan tempat-tempat di mana kaki-kaki fisiologis dan imajiner mereka berpijak.

Di tangan para sarjana seperti Lombard, Pelras, dan sederet nama lain, etnologi dan etnografi yang punya akar pada pelukisan kehidupan bangsa-bangsa yang dianggap barbar, berkembang menjadi persembahan yang hangat dan murah hati dari satu bangsa ke bangsa yang lain, sesuatu yang sungguh kian dibutuhkan dalam dunia yang memang tak punya batas yang tak tertembus, namun yang kadang masih ingin disekat dan dibuat kedap oleh batas-batas bikinan manusia sendiri.

di Tulis Oleh: Nirwan Ahmad Arsuka, Esais, [email protected]


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News Kompas Cyber Media]

Krisis Relevansi Antropologi di Indonesia

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Krisis Relevansi Antropologi di Indonesia-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Krisis Relevansi Antropologi di Indonesia Apa relevansi antropologi untuk Indonesia saat ini? Pertanyaan ini seolah smash bola voli dari umpan tarik tak terduga. Adalah dosen senior antropologi Amri Marzali yang melontarkannya.

Tampil sebagai keynote speaker dalam 4th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia di Universitas Indonesia, 12-15 Juli 2005, Amri merasa gelisah dan prihatin terhadap krisis relevansi yang sedang menerpa disiplin antropologi, khususnya di Indonesia.

Menurutnya, krisis relevansi itu mencakup tiga hal. Pertama, berkaitan dengan konsep utilitas dalam ilmu ekonomi atau kurang lebih asas manfaat seperti dalam ilmu ekonomi. Hal ini berhubungan dengan keadaan bahwa saat ini antropologi berkembang dalam masyarakat yang berorientasi pasar.

Kedua, berkaitan dengan kekuatan explanatory, sampai seberapa jauh antropologi dapat menjelaskan masalah-masalah sosial di lingkungannya secara ilmiah. Ketiga, berhubungan dengan moral significance yang menyangkut cara dan tujuan penggunaan antropologi. Tentu saja ini berhubungan dengan etika keilmuan, yang menyangkut untuk apa dan siapa kegiatan keilmuan dilakukan, untuk kejahatan kemanusiaan atau kemaslahatan.

Tulisan ini hendak memberikan beberapa catatan mengenai krisis relevansi seperti yang telah diungkapkan. Pertama, kenyataan di lapangan menunjukkan, belakangan kajian-kajian yang menggunakan antropologi sebagai alat analisa semakin banyak. Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya buku-buku kajian keislaman di Indonesia yang ditulis baik oleh sarjana Barat ataupun Timur, termasuk Indonesia.

Beberapa proyek departemen, seperti Depdiknas, sebagian penelitiannya menggunakan pendekatan antropologi untuk memperoleh penjelasan terhadap beberapa masalah pendidikan di Indonesia. Sebagian LSM juga menggunakan jasa ilmu ini dalam riset-riset yang mereka lakukan.

Sayangnya, pada saat yang sama, secara institusional dan akademik, antropologi tidak menjadi jurusan atau program studi yang marketable. Banyak perguruan tinggi negeri yang tersebar di seluruh Indonesia tapi tidak punya jurusan antropologi. Apalagi untuk swasta, penulis belum mendengar ada yang berani membuka jurusan antropologi. Ini memperlihatkan adanya kekhawatiran, membuka jurusan ini tidak akan memberikan keuntungan apa-apa karena tidak ada peminatnya. Bandingkan dengan jurusan akuntansi, manajemen, psikologi, atau yang sedang menjadi tren sekarang ilmu komunikasi.

Alasan yang mudah diduga mengapa hanya sedikit mahasiswa yang memilih jurusan antropologi adalah karena lulusan jurusan ini tidak mudah dalam memperoleh pekerjaan. Faktor prospek masa depan adalah pertimbangan yang sangat wajar dan realistis. Banyak mahasiswa antropologi yang penulis jumpai mengaku memilih jurusan antropologi sebagai pilihan kedua atau ketiga ketika mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Artinya, selain dianggap tak terlalu menjanjikan di satu sisi, juga bahwa antropologi belum bisa mempromosikan dirinya sendiri sebagai pilihan favorit.

Kedua, selama ini antropologi masih menjadi disiplin yang lebih berorientasi pada keilmuan an sich, dalam hal ini sebagai ilmu humaniora atau sosial, yang basis utamanya penelitian lapangan. Sudah saatnya untuk dipikirkan, selain berorientasi keilmuan, antropologi juga mengembangkan diri dengan berorientasi antropolog sebagai profesi. Istilah seperti antropolog, sosiolog, bahkan juga geolog dan beberapa yang lain pengertiannya bukanlah profesi, tetapi secara lazim berkonotasi pada kepakaran atau keahlian.

Mereka biasanya berprofesi sebagai dosen dan atau peneliti. Bandingkan dengan disiplin psikologi yang selain berorientasi keilmuan dengan melahirkan para sarjana psikologi, juga mencetak profesi psikolog. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang mengada-ada bagi antropologi untuk memperluas orientasi akademisnya.

Tentu saja ini tidak semudah membalik telapak tangan. Yang dibutuhkan adalah kerja keras, sehingga pada saatnya masyarakat akan melihat antropologi sebagai pilihan yang menjanjikan. Hal ini kiranya tidak jauh dari harapan Amri Marzali agar antropologi tidak mengenyampingkan applied anthropology, yang menurutnya sebagian ahli antropologi mengkhawatirkan akan menurunkan gengsi disiplin ini.

Catatan lain, bahwa para sarjana antropologi juga mempunyai pekerjaan rumah untuk menggeser citra yang telanjur melekat pada benak masyarakat awam bahwa disiplin ini adalah ilmu yang hanya mempelajari masyarakat primitif.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa antropologi memang belum dipromosikan secara maksimal. Bahwa cakupan kajian antropologi kini telah sedemikian luasnya sehingga merambah pada kehidupan komunitas perkotaan yang kosmopolit, hal ini merupakan kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Poin ini juga mempunyai hubungan dengan antropologi terapan yang semestinya mempunyai sensitivitas terhadap berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat sebagai dampak globalisasi.

Akhir kata, penulis berharap catatan ini bisa menyambung lidah kelu Amri Marzali, salah satu mursyid antropologi di Indonesia saat ini, yang telah memperjuangkan kemajuan disiplin antropologi agar bisa memberi kontribusi lebih besar kepada bangsa ini.

di Tulis Oleh: Mohammad Rozi, Alumnus Program Studi Antropologi pada Pascasarjana UGM


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News Kompas]

Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural

Property Pribadi Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh Doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural Dalam tulisan (Suparlan 2001a, 2001b) telah saya bahas dan tunjukkan bahwa cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.

Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.

Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik.

Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997).

Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi:

"kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah".

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila:
(1) Konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya;
(2) Kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan
(3) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.

Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah konsep asing. Saya kira perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di media massa daripada yang sudah ada selama ini.

Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an

Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).

Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997). 

Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). 

Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa 'we are all multiculturalists now' dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.

Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. 

Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. 

Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002).

Pemahaman Tentang Multikulturalisme

Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. 

Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji.

Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran.(out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai.

Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu memberikan pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.

Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai 'Pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai dengan hak dan kewajibannya.'

Sehingga peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987). Dalam ruang lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan birokrasi, dan sebagainya.

Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat berbagai pedoman etika yang ada atau tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus, misalnya pembahasan mengenai "Akbar Tanjung dan Etika Politik" sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Alfian M (2002).

Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia yang multikultural adalah sangat kompleks. Apakah kita para ahli antropologi sudah siap untuk itu? Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di Indonesia ini juga sudah siap untuk itu? Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya bila kita semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan tersebut.

Pertama, apakah secara konseptual dan teoretikal kita cukup mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural? Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita persiapkanlah diri kits melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita dan mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural.

Kalau merasa diperlukan, sebaiknya pimpinan dan dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting berkenaan dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi. Pembicaraan para pimpinan jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang sesuai dengan itu.

Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian etnografi yang teradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural.

Penelitian etnografi yang bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons dari respeonden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini.

Karena, kajian seperti ini hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian. Pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Untuk itu perlu juga diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif.

Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing. Sehingga secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.

Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi, atau gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau sejumlah jurusan lainnya yang ada dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah kota untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi, seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan dapat dijadikan landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya yang lebih luas ruang lingkupnya. Dengan cara ini maka konsep-konsep dan teori-teori serta metodologi berkenaan dengan kajian mengenai multikulturalisme, masyarakat multikultural, dan perubahan serta proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan itu semua akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di lapangan.

Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai memikirkan untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme.

Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh masyarakat atau partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan ide tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan untuk turut melakukan reformasi.

Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan

Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.

Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya.

Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.

Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidak inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan.

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas R.I. mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam upaya mencegah terulangnya kembali di masa yang akan datang konflik berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat Suparlan 2002)

Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung cita-cita demokrasin akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.

Daftar Kepustakaan

Alfian M., M. Alfian, 2002, "Akbar Tanjung dan Etika Politik". Harian Media Indonesia, 19 Maret 2002.
Bertens, K., 2991, Etika. Jakarta: Gramedia.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincolns (eds), 2000, Handbook of Qualitative Research. Second Edition. London: Sage.
Fay, Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford: Blackwell Glazer, Nathan, 1997, We Are All Multiculturalists Now. Cambridge, Mass.:Harvard University Press.
Guba, Egon G.(ed.), The Paradigm Dialog. London: Sage.
Jary, David dan Julia Jary, 1991, "Multiculturalism". Hal.319. Dictionary of Sociology. New York: Harper.
Magnis-Suseno, 1987, Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Nieto, Sonia, 1992, Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multicultural Education. New York: Longman.
Reed, Ishmed (ed.), Multi America: Essays on Culture Wars and Peace. Pinguin.
Rex, John, 1985, "The Concept of Multicultural Society". Occassional Paper in Ethnic Relations, No. 3. Centre for Research in Ethnic Relations (CRER).
Suparlan, Parsudi, 1999, "Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme". Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal. 35-42.
_________ , 2001a, "Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan? makalah disampaikan dalam Seminar
"Menuju Indonesia Baru". Perhimpunan Indonesia Baru - Asosiasi Antropologi Indonesia. Yogyakarta, 16 Agustus 2001.
_________ , 2001b, "Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme". Harian Media Indonesia, 10 Desember 2001.
_________ , 2002a, "Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia". Jurnal Antropologi Indonesia, no. 6, hal. 1-12.
_________ , 2002b, Konflik Antar-Sukubangsa dan Upaya Mengatasinya. Temu Tokoh. "Dengan Keberagaman Etnis Kita Perkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Rangka Menuju Integrasi Bangsa". Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya - Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKNST) Pontianak. Singkawang, 12-14 Juni 2002.
Watson, C.W., 2000, Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University Press.

di Tulis Oleh: Parsudi Suparlan


[Sumber: yang diambil oleh Admin Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh Silahkan Lihat Di News scripps.ohiou.edu]