Kaum Sosialis, Gerakan Mahasiswa dan Revolusi Demokratik

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Kaum Sosialis, Gerakan Mahasiswa dan Revolusi Demokratik-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Kaum Sosialis, Gerakan Mahasiswa dan Revolusi Demokratik Ada dua kelas yang berhadapan muka dalam kondisi tak terdamaikan di tengah masyarakat modern: kelas buruh dan kelas kapitalis.

Kelas buruh tidak memiliki hak apapun atas alat-alat produksi dan, dengan demikian, harus menjual satu-satunya yang ada padanya, tenaga untuk bekerja, kepada kelas kapitalis, yang memiliki seluruh alat produksi yang ada. Selain kedua kelas itu, terdapat pula kelas pekerja yang lain, yang belum sepenuhnya kehilangan hak milik atas alat produksi, tapi juga tetap harus membanting tulang untuk penghidupannya: kelas petani, pedagang kecil dan artisan.

Di manakah posisi mahasiswa dalam susunan kelas dalam masyarakat modern ini? Di satu pihak, mahasiswa tidak bekerja. Ia sepenuhnya hidup dari keringat orang lain, dalam bentuk uang kiriman dari orang tua. Di pihak lain, ia juga tidak memegang hak atas alat-alat produksi di mana ia dapat melakukan pemerasan secara langsung terhadap keringat orang lain.

Maka, "mahasiswa" bukanlah sebuah "kelas". Ia hanyalah sebuah "sektor", di mana tergabung anak-anak dari orang tua yang berasal dari berbagai kelas. Posisi kelas mahasiswa belum ditentukan karena mereka belum memasuki kehidupan ekonomi yang sesungguhnya: proses produksi. Kedudukan yang mengambang itu membuat mahasiswa menjadi sasaran empuk bagi semua pihak yang memiliki kepentingan kelas. Khususnya mereka yang berada di pihak borjuasi. Ini adalah konsekuensi logis dari sistem pendidikan di bawah sistem masyarakat borjuasi: kaum borjuasilah yang membiayai sekolah-sekolah.

Pada awalnya, sekolah-sekolah hanya menerima anak-anak kelas berkuasa. Sekolah dipergunakan untuk mencetak kader-kader penerus kelas berkuasa - seperti terlihat pada sekolah-sekolah di bawah sistem feudal yang hanya dihadiri oleh pangeran-pangeran atau calon abdi istana. Sekolah calon abdi, seperti namanya, tentulah diarahkan untuk mempersiapkan orang-orang yang akan mengabdi pada kaum feudal itu. 

Sekolah-sekolah borjuasi dibuka untuk umum tapi biayanya mahal sehingga hanya anak-anak orang kaya (yaitu, anak-anak borjuasi atau feudal) yang dapat bersekolah di situ. Barulah setelah kaum buruh melakukan perlawanan hebat sekolah-sekolah ini dibuka untuk umum dengan biaya murah. Salah satu perlawanan yang terhebat berlangsung di Inggris, di mana ratusan ribu buruh di bawah bendera gerakan Chartist di akhir abad kedelapan belas melancarkan tuntutan untuk hak pilih umum (universal suffrage) dan pendidikan murah untuk semua.

Dengan demikian, kini, medan pertempuran di kalangan mahasiswa kian ramai. Di satu pihak, masuknya anak-anak kelas pekerja ke universitas memberi peluang bagi kaum borjuasi untuk menanamkan ilusi-ilusi agar kesadaran kelas mereka tidak dapat berkembang. Salah satu ilusi yang paling ampuh adalah peluang semu untuk "naik kelas": memperoleh kesejahteraan sebagai pelayan kaum borjuasi. 

Dengan mimpi itu, anak-anak kelas pekerja akan mau mengkhianati kepentingan kelasnya sendiri, kepentingan orang tuanya juga. Bahkan, mereka akan turut menyebarkan ilusi borjuasi itu, persepakatan dengan sistem penindasan, di tengah anggota kelas mereka sendiri. Dengan demikian, mereka telah diserap menjadi agen-agen institusi perlindungan kaum borjuasi, negara borjuasi, yang bertugas melakukan penindasan spiritual-ideologis kepada kelas pekerja. Mereka menjadi unsur-unsur paling reaksioner dan kontra-revolusioner di dalam masyarakat.

Di pihak lain, kaum sosialis juga mendapatkan kesempatan untuk mendidik kader-kader kelas pekerja dengan pendidikan tinggi, sekaligus merebut keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan kelas pekerja, terutama kelas buruh. Pendidikan tinggi ini sangat berguna untuk perluasan pendidikan di kalangan kelas pekerja sendiri, meningkatkan kemampuan kritis mereka, kemampuan analisa mereka terhadap dunia sekitarnya, dan mempersiapkan mereka untuk menjalankan roda pemerintahan ketika kelak kelas pekerja merebut kekuasaan dari tangan kaum borjuasi. 

Perebutan keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan rakyat pekerja ini juga adalah sesuatu yang sangat strategis sifatnya. Kelak, jika mereka berada dalam posisi-posisi kunci di tengah kelas mereka sendiri, mereka akan dapat memecah persatuan kelas borjuasi berhadapan dengan gerakan kelas pekerja yang revolusioner. Sangat diharapkan bahwa mereka ini akan cenderung menyeberang ke pihak kelas pekerja ketika situasi revolusioner muncul. Dan ketika kelas pekerja merebut kekuasaan, mereka akan merupakan bantuan yang tak ternilai untuk konsolidasi kekuasaan, dalam perlucutan kekuatan reaksi kaum borjuasi dan untuk membantu melancarkan roda perekonomian - pendeknya, merupakan minyak pelumas bagi proses transisi dari kapitalisme ke sosialisme.

Perang ideologis di sektor mahasiswa

Pertempuran yang terjadi untuk memperebutkan keberpihakan sektor mahasiswa ini sesungguhnya tidak berjalan seimbang. Di satu pihak, kaum borjuasi, karena menguasai negara, menguasai pula segala alat yang dipergunakan untuk mengadakan pendidikan. Di pihak lain, kaum sosialis hanya bermodalkan semangat dan dukungan organisasi untuk merebut alat-alat pendidikan itu bagi kepentingan kemenangan rakyat tertindas.

Kaum borjuasi memiliki segala-galanya. Terutama di Indonesia, kita dapat melihat bahwa apa yang diajarkan di sekolah-sekolah dirancang di meja-meja kerja birokrasi pendidikan - pelayan-pelayan ideologi kaum borjuasi. Sejak seseorang menginjakkan kakinya pertama kali di sekolahnya yang pertama, ia sudah diajari bahwa segala yang berbau sosialis adalah jelek. Setelah ia beranjak dewasa dan kesadaran kritisnya mulai muncul, dijejalkanlah segala macam penjelasan "ilmiah" dari kaum borjuasi untuk membenarkan keberadaannya di dunia ini. Sejak dari sistem berpikir, teori ekonomi, teori politik, filsafat, dsb.

Bahkan sampai bagaimana tiap ilmu dipisah-pisahkan sedemikian rupa sehingga, tanpa pendalaman terhadap metode berpikir yang benar, yang tidak diajarkan di sekolah-sekolah itu, seseorang tidak akan dapat merangkaikan kebenaran-kebenaran parsial yang terdapat di masing-masing ilmu menjadi satu kebenaran yang utuh. Tanpa metode berpikir yang benar, seseorang yang mempelajari filsafat tidak akan dapat menerima bahwa filsafat harus dapat menjelaskan pula gejala-gejala yang terkandung dalam ilmu-ilmu fisika, misalnya. Seseorang yang menggeluti politik atau hukum tidak akan pula dapat melihat bahwa pelajaran terpenting yang harus digugunya terdapat dalam ilmu arkeologi.

Guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah ini juga berasal dari sistem pendidikan guru yang dikendalikan oleh borjuasi. Dengan demikian, guru-guru ini juga menjadi pelayan sistem borjuasi itu sendiri. Lembaga keguruan merupakan satu lembaga yang berdiri di luar masyarakat, merupakan lembaga yang bersifat reguler (standing institution), dan digaji penuh untuk menjalankan tugas pelayanannya terhadap kepentingan borjuasi itu. Maka, kita dapat memahami dengan pasti bahwa lembaga pendidikan adalah bagian dari negara, yaitu bagian dari mesin penindasan ideologisnya. Tidak mengherankan, jika demikian, bahwa sistem administrasi di dalam satu lembaga keguruan, pada umumnya, mencerminkan sistem yang ada di negara di mana ia berada.

Hal ini nampak jelas di Indonesia, di mana ada satu parlemen palsu bagi mahasiswa, Senat Mahasiswa dan Badan Perwakilan Mahasiswa, yang sama impotennya ketika berurusan dengan persoalan-persoalan paling penting yang menyangkut kesejahteraan mahasiswa: biaya pendidikan dan fasilitas kampus. Mengenai dua hal ini, kata putus tetap berada pada sebuah badan yang berdiri eksklusif dan elitis di kampus: Senat Universitas.

Pemahaman terhadap hal ini akan membuat kita sanggup melecehkan istilah "industri pendidikan", di mana pendidikan dianggap sebagai salah satu sektor industri jasa. Kita kini sudah melihat bahwa pendidikan adalah sebuah kelembagaan yang lebih bersifat ideologis daripada sekedar mencari keuntungan sebesar-besarnya. "Industri pendidikan" hanyalah sebuah alasan yang dikemukakan kaum borjuasi untuk memblokade masuknya anak-anak kelas pekerja ke dalam pendidikan ini. 

Pendidikan bagi anak-anak kelas pekerja ini, menurut kaum borjuasi, cukuplah di bidang-bidang teknik yang praktis agar dapat menjadi tenaga trampil di pabrik-pabrik. Supaya monopoli atas pengetahuan tetap terjaga, supaya anak-anak kelas pekerja yang sanggup (dengan susah-payah) masuk ke dalam sistem pendidikan itu dapat dengan mudah dibeli, dan untuk melemahkan sektor mahasiswa yang sudah terbukti dari sejarahnya kerap menjadi pemicu bagi perlawanan kelas pekerja itu sendiri.

Kita dapat melihat pula bagaimana istilah "industri pendidikan" ini tidak pernah cocok dengan kenyataan di lapangan. Sebuah industri jasa seharusnya bersaing memasang harga semurah mungkin agar dapat merebut konsumen, dengan fasilitas yang sesuai dengan harga yang dipatok. Tapi, seperti yang kita alami sendiri, harga-harga itu semakin membumbung tinggi dan jarang sekali fasilitas yang setara dengan harga itu disediakan oleh pihak penyelenggara jasa.

Pendidikan bukanlah sebuah industri jasa. Pendidikan adalah mesin ideologis yang akan membentuk kader-kader dan pelayan-pelayan kaum borjuasi. Berhadapan dengan kondisi suram ini, apakah yang dapat diperbuat oleh kaum sosialis terhadap sektor mahasiswa?

Pertama-tama haruslah disadari bahwa seluruh pelajar, mahasiswa tidak terkecuali, berada di bawah hujan propaganda kaum borjuasi. Propaganda yang datang dalam bentuk, lisan, tulisan, bentuk-bentuk budaya, lingkungan pergaulan. Ke manapun seorang mahasiswa pergi, ia akan berhadapan dengan propaganda borjuasi: ke ruang kelas, ke ruang dosen, ke kantin, ke tempat parkir. Bahkan, di beberapa tempat, WC-pun dibedakan antara WC untuk kaum elit agen borjuasi dengan WC bagi warga biasa. Inilah apa yang dikenal dengan istilah "hegemoni" - hujan propaganda yang membuat orang mati rasa terhadap penindasan yang dialaminya.

Maka, untuk memenangkan pertempuran dengan kaum borjuasi dalam berebut keberpihakan mahasiswa, kaum sosialis haruslah dapat mematahkan hegemoni ini. Kaum sosialis haruslah membuat kampus dan sekolah-sekolah memancarkan aroma kelas pekerja.

Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus terlebih dahulu bersepakat tentang apa yang disebut dengan "aroma kelas pekerja" itu. Budaya kelas pekerja bukanlah sekedar budaya "dari jam sembilan sampai jam lima", alias kerja kantoran. Budaya kelas pekerja juga bukan budaya tinggal berlama-lama di kantor, pabrik atau sekretariat. Budaya kelas pekerja adalah, di atas segalanya, disiplin dalam demokrasi. Berteguh melaksanakan kerja-kerja yang telah dibagikan melalui diskusi-diskusi yang demokratik, melalui keputusan mayoritas. Kita akan kembali lagi pada hal ini di belakang. Dengan demikian, tugas pertama gerakan sosialis adalah membawa obor berapi ke jantung kubu-kubu musuh:

beragitasi dan berpropaganda tanpa mengenal lelah dan takut di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus. Gerakan sosialis harus selalu menggunakan alat-alat yang dapat seluas mungkin berbicara kepada setiap mahasiswa mengenai isu-isu tertinggi yang mungkin dipergunakan. Contohnya, ketika situasi sangat represif, kaum sosialis harus dengan bersemangat melancarkan agitasi dari orang ke orang dengan isu demokratisasi kampus. Namun, ketika situasi terbuka telah didapatkan, kaum sosialis harus mempergunakan koran untuk berproganda tentang sosialisme di kampus. Media yang sanggup menjangkau seluas mungkin massa dan isu yang sanggup menggerakkan sebanyak mungkin orang, sesuai dengan situasi dan kondisi di lingkungan termaksud.

Namun, hal ini saja belum cukup. Hujan propaganda borjuasi dilancarkan secara sistemik, terorganisir dan menyeluruh. Maka, untuk sanggup mematahkan itu, kaum sosialis harus pula membangun satu lingkungan kelas pekerja di tengah-tengah kampus - dengan satu peringatan: tanpa menjadikan kaum sosialis itu sebuah sekte yang eksklusif dan menakutkan bagi massa mahasiswa secara luas.

Seringkali hal ini mustahil dilakukan di kampus, terutama ketika gerakan sosialis masih merupakan minoritas dan lemah. Dalam keadaan demikian, tidak ada jalan lain bagi gerakan sosialis selain membawa mahasiswa ke luar kampus, ke tengah lingkungan kaum pekerja - terutama buruh, di mana budaya kelas pekerja telah mencapai puncaknya di bawah sistem borjuasi. Setiap orang mahasiswa yang tergabung dalam gerakan sosialis harus terhubung secara fisik dan ideologis kepada dua komunitas sekaligus: mahasiswa dan buruh. Ini, contohnya, dapat dilakukan dengan bergiliran masuk ke basis-basis buruh dan menjadi organiser buruh.

Pendeknya, gerakan mahasiswa tidak boleh dibiarkan menjadi gerakan mahasiswa an sich.

Sebaliknya, adalah pula merupakan tugas kaum sosialis untuk semakin banyak memasukkan anggota-anggota kelas pekerja ke dalam pendidikan tinggi dan mempertahankan keberpihakan mereka kepada kepentingan kelas mereka sendiri. Kaum sosialis tidaklah boleh berhenti bergerak demi sebuah 'pendidikan murah untuk semua' demi tercetaknya kader-kader kelas pekerja yang berketrampilan tinggi, untuk keperluan industrialisasi kelak jika sosialisme telah mencapai kemenangannya. 

Semakin banyaknya kader-kader kelas pekerja di dalam lingkungan pendidikan tinggi juga memudahkan pembangunan satu lingkungan beraroma kelas pekerja di dalam kampus, melancarkan penerimaan isu-isu ekonomis di dalam kampus, dan mendekatkan massa mahasiswa secara personal kepada isu-isu yang berkenaan dengan kepentingan rakyat pekerja di luar tembok-tembok kampus.

Dengan agitasi dan propaganda yang luas, dan pembangunan lingkungan beraroma kelas pekerja, setidaknya di kalangan kaum sosialis itu sendiri, kita boleh mengharapkan agar gerakan mahasiswa ini menjadi semakin kental dalam hegemoni kelas pekerja. Jika proses ini dapat dilalui dengan berhasil, upaya memenangkan massa mahasiswa yang lebih luas akan mendapatkan pelumas yang sangat manjur. Apalagi yang mampu mematahkan lingkungan penuh kesenangan dan hura-hura a la mahasiswa, kecuali jika mereka melihat bahwa budaya kelas pekerja mutlak unggul dari budaya kesenangan yang selama ini mereka anut?

Sebagai penyimpulan, tugas gerakan sosialis di tengah gerakan mahasiswa adalah membangun komunitas luas yang terhubung secara fisik dan ideologis dengan gerakan kelas pekerja itu sendiri.

Setelah itu

Tentu saja kita tidak boleh menunggu agar komunitas kita besar terlebih dahulu sebelum melancarkan propaganda ke kalangan yang lebih luas, terutama gerakan mahasiswa pada umumnya. Pandangan-pandangan serupa "Kita masih kecil dalam jumlah", atau "Kita belum cukup kuat", sesungguhnya menunjukkan ketidakyakinan ideologis yang mendalam. Akibat lanjutan yang dapat muncul kemudian jika ketidakyakinan ini tidak segera diatasi adalah watak-watak sektarian dalam pergerakan.

Segera setelah komunitas sosialis dalam gerakan mahasiswa terbentuk, ia harus melancarkan pula propaganda yang diarahkan pada massa mahasiswa, khususnya gerakan mahasiswa pada umumnya.

Hal apakah yang, terutama, harus dipropagandakan oleh kaum sosialis di tengah gerakan mahasiswa?

Menimbang hal-hal yang telah kita bahas terdahulu, bahan-bahan propaganda ini tentulah diutamakan yang menyangkut upaya untuk memperbesar pengaruh keberpihakan pada gerakan buruh dan kelas pekerja lainnya di tengah gerakan mahasiswa, termasuk propaganda-propaganda yang perlu untuk mencegah gerakan mahasiswa berdiri sebagai suatu gerakan yang terpisah, mandiri, terutama dari gerakan kelas pekerja.

Gerakan mahasiswa sosialis harus mengkritisi tanpa ampun sikap umum gerakan mahasiswa yang enggan menggabungkan diri dengan gerakan rakyat pekerja, sikap-sikap non-partisan yang tak berprinsip, dan penyakit-penyakit sektarian lain antar mereka sendiri yang kerap diidap oleh gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa sosialis harus menggunakan segala macam cara yang dikuasainya - memohon pengertian atau mengungkapkan peringatan-peringatan keras, tajam atau lembut, keras atau lunak - agar pemahaman itu dapat menancap dalam-dalam di kepala dan hati massa mahasiswa. Gerakan mahasiswa sosialis harus sanggup mengangkat isu-isu kampus menjadi isu-isu yang menyangkut kepentingan rakyat pekerja secara umum, dan sebaliknya, isu-isu rakyat pekerja harus terus diperkenalkan kepada komunitas massa mahasiswa di dalam kampus.

Gerakan mahasiswa sosialis haruslah menjadi kelompok yang pertama mempropagandakan dan melancarkan aksi-aksi massa dalam setiap kesempatan, walau sekecil apapun, yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan watak sejati dari para penguasa birokrasi kampus.

Gerakan mahasiswa sosialis harus pula menjadi yang pertama untuk mempromosikan solidaritas terhadap gerakan-gerakan mahasiswa di kampus-kampus lain, mendorong terbentuknya satu penyatuan dalam gerakan mahasiswa di tingkatan yang lebih luas. Walau tetap harus diperhatikan prinsip-prinsip dalam beraliansi, antara lain kebebasan untuk menjalankan kritik bahkan terhadap kawan-kawan aliansi, penyatuan kekuatan harus dijadikan prioritas utama. Terlebih ketika berhadapan dengan Negara Borjuasi yang represif.

Pendeknya, gerakan mahasiswa sosialis harus menjadi pelopor sejati, bukan hanya dalam teori.

Namun, di samping semua itu, gerakan mahasiswa sosialis menempati posisi khusus dalam kancah revolusioner. Posisi khusus ini diperolehnya karena ia terbebaskan dari keharusan untuk turut serta dalam proses produksi sehingga ia dapat memperoleh waktu luang, bahkan "ditugaskan", untuk belajar. Dengan demikian, tugas untuk mempelajari berbagai teori dan sejarah revolusi menempel dengan kuat di pundak gerakan mahasiswa sosialis. Gerakan mahasiswa sosialis memanggul beban untuk menarik pelajaran dari berbagai upaya revolusioner rakyat pekerja di berbagai negeri, untuk membuat analisa-analisa dan pertimbangan-pertimbangan, dan untuk merumuskan berbagai variasi taktik dan strategi baru.

Gerakan mahasiswa sosialis juga mengemban tugas yang berat untuk menyediakan bacaan bagi seluruh rakyat pekerja. Adalah tugasnya, walaupun sangat berat, untuk mempelajari segala bahasa asing yang mungkin dikuasai, agar dapat menerjemahkan dan menerbitkan berbagai artikel dan buku yang selama ini hanya dapat dinikmati oleh segelintir kalangan saja. Ia juga harus menuntut dibukanya perpusatakaan-perpustakaan publik, mengisi perpustakaan-perpustakaan itu dengan buku-buku dan menggairahkan semua orang untuk menjadi anggota perpustakaan-perpustakaan dan aktif membaca buku buku-buku itu. Ia harus menyediakan berbagai wahana di mana rakyat pekerja dapat mendiskusikan segala yang mereka baca dan membimbing rakyat pekerja untuk memahami apa yang mereka baca.

Hal ini semakin membuat keterhubungannya, secara fisik dan ideologis, dengan gerakan kelas pekerja menjadi sesuatu yang imperatif, satu keharusan. Dengan demikian, apa yang dipikirkannya, kesadarannya, adalah kesadaran dari lingkungan yang hegemonik baginya, yaitu lingkungan kelas pekerja. Dengan demikian pula, ia dapat berbagi apa yang telah dihasilkannya dalam kerja-kerja mental itu kepada gerakan kelas pekerja, menerangkan kepada gerakan kelas pekerja dalam bahasa mereka sendiri, dan membantu gerakan kelas pekerja untuk mewujudkan segala hasil kerja mental itu. Gerakan mahasiswa sosialis adalah kancah rekrutmen agen-agen yang akan membantu rakyat pekerja menemukan kesadaran sejatinya.

di Tulis Oleh: Ken Budha Kusumandaru

Ketika Fisika dan Sosiologi Bertemu Ilmu Jaringan

Property Pribadi Suriya-aceh Info-Anak-MeulabohDoc. Pribadi Ilustrasi Gambar Blog Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh: Ketika Fisika dan Sosiologi Bertemu Ilmu Jaringan
Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh Ketika Fisika dan Sosiologi Bertemu Ilmu Jaringan - HAL yang menarik dari ilmu jaringan adalah ia mempelajari hal-hal yang terjadi di seputar kita. Bagaimana krisis moneter 1997 dapat menyebar hampir ke seluruh Asia? Bagaimana gerakan mahasiswa 1998 berhasil menumbangkan pemerintahan, tetapi gagal di waktu lain? Bagaimana perselisihan antardua orang dapat bereskalasi menjadi sebuah konflik regional? Bagaimana penyakit menular menyebar menjadi epidemik? Bagaimana ide atau tren budaya menyebar?

MESKIPUN pertanyaan-pertanyaan di atas tampak berbeda-beda, sebenarnya itu semua adalah variasi dari satu pertanyaan: bagaimana perilaku individu berkumpul (aggregate) menjadi perilaku kolektif? Masalah ini kita sebut sebagai masalah agregasi yang merupakan salah satu masalah paling besar dan mendasar dalam seluruh ilmu. Sebagai contoh, otak manusia bisa dikatakan hanya sebagai kumpulan miliaran sel saraf yang saling terhubungkan membentuk jaringan elektrokimia. Tapi bagi kita yang memilikinya tentu otak lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran, ingatan, kepribadian yang tidak bisa dijelaskan jika kita menganggap otak hanya sebagai kumpulan sel saraf.

Selama lebih dari 300 tahun ilmu modern telah berhasil menjelaskan banyak fenomena alam dengan cara mereduksinya menjadi bagian-bagian terkecil yang dianggap fundamental. Di sini diasumsikan jika kita mengerti komponen paling dasar dari sistem, maka secara prinsip kita dapat mengerti perilaku sistem. Cara berpikir seperti ini dapat ditemukan di banyak cabang ilmu terutama fisika. Ini bukanlah cara berpikir yang tepat untuk mengatasi banyak masalah modern. Pemenang Nobel Fisika Philip Anderson pada tahun 1971 menulis sebuah artikel penting berjudul More is Different di jurnal Science.

Di artikel tersebut, Anderson menjelaskan bahwa fisika telah sukses mengklasifikasi partikel fundamental dan interaksinya untuk satu atom. Tetapi, coba kumpulkan atom dalam jumlah besar, maka ceritanya menjadi lain sama sekali. Oleh karena itu, kimia adalah ilmu tersendiri, bukan bagian dari fisika. Selanjutnya biologi tidak bisa direduksi menjadi kimia, begitu pula ilmu kedokteran bukan sekadar bagian biologi. Di skala yang lebih besar lagi kita temukan ilmu ekonomi dan sosiologi yang tidak dapat dijelaskan hanya dari pengetahuan psikologis, biologis, apalagi fisika.

Sampai akhir abad lalu, banyak ilmuwan kurang memperhatikan masalah agregasi ini kecuali para sosiolog. Hampir seluruh masalah di sosiologi adalah masalah agregasi: bagaimana aktivitas sekolompok individu dapat menimbulkan efek sosial yang diamati. Inilah yang membuat sosiologi sangat sulit. Sistem sosial adalah sistem kompleks yang terdiri dari individu-individu yang tingkah lakunya sering membingungkan dan tidak bisa diprediksi. 

Tetapi jika individu berkumpul dalam jumlah cukup banyak kadang kita dapat mengerti sifat dasar kelompok tanpa harus mengetahui perilaku detail anggota kelompok. Di sinilah uniknya penelitian mengenai sistem kompleks. Di satu sisi, meskipun kita tahu pasti perilaku individu ini tidak menjamin kita dapat mengetahui perilaku kolektifnya. Sebaliknya, terkadang kita dapat mengerti perilaku kolektif tanpa perlu mengetahui secara pasti karakteristik dan sifat anggota kelompoknya.

Cerita berikut bisa memberikan ilustrasi. Beberapa tahun yang lalu para insinyur listrik di Inggris bingung karena adanya lonjakan pemakaian listrik tiba-tiba secara bersamaan di seluruh Inggris. Meskipun lonjakan ini hanya berlangsung beberapa menit saja, tetapi cukup membahayakan jaringan listrik di Inggris karena terjadi secara simultan. Akhirnya mereka dapat mengetahui bahwa lonjakan tiba-tiba tersebut terjadi paling parah ketika sedang berlangsung pertandingan final sepak bola liga Inggris, di mana seluruh penduduk Inggris menontonnya di televisi masing-masing. 

Saat istirahat pergantian babak, secara serentak mereka menyalakan kompor untuk memasak teh. Secara individu orang Inggris sangatlah kompleks seperti halnya setiap manusia di dunia. Tapi, kita tak perlu mengetahui banyak tentang mereka untuk memprediksi lonjakan pemakaian listrik jika kita tahu bahwa orang Inggris menyukai sepak bola dan teh. Untuk kasus ini individu dapat direpresentasikan secara sederhana. Jika individu dapat direpresentasikan secara sederhana, lalu dari mana munculnya kompleksitas? Kompleksitas muncul dari interaksi antarindividu. 

Sebagai contoh adalah gen manusia. Sekarang ahli biologi telah mengetahui seluruh gen manusia. Tapi, ini bukan berarti kita dapat menjelaskan kompleksitas manusia. Karena mengetahui susunan gen bukan berarti mengerti fungsi gen-gen tersebut. Fungsi gen hanya dapat diketahui jika kita mengerti interaksi antargen yang terjadi. Pola interaksi inilah yang bisa menimbulkan kompleksitas yang hampir tak terhingga.

Sekarang kita dapat menarik kesimpulan bahwa untuk memahami dinamika kolektif, pengetahuan tentang interaksi antarindividu sangat penting. Kumpulan individu yang sama dapat menimbulkan efek yang berbeda jika interaksinya berbeda. Pertengkaran antara dua orang yang berbeda agama dapat membuat konflik religius tapi juga dapat berhenti di dua orang itu saja. Sebuah bank yang bangkrut dapat merusak sistem perbankan nasional tapi dapat pula tidak berpengaruh apa-apa. Interaksi berperan penting dalam menentukan hasil. 

Pertanyaan selanjutnya adalah, pola interaksi seperti apa yang mampu membuat perubahan besar sehingga kita harus perhatikan dan waspadai? Belum ada seorang pun yang tahu pasti jawabannya. Tetapi para ilmuwan mulai menguak mencari jawaban menggunakan hasil penelitian bertahun-tahun di dua bidang yang sepintas tidak berhubungan: Fisika dan Sosiologi. Dari sintesa kedua bidang inilah muncul ilmu baru yang dinamakan ilmu jaringan (networks science).

Jaringan dan fenomena dunia kecil

Ketika berbicara mengenai jarak, biasanya yang dimaksud adalah jarak yang memisahkan tempat atau benda di ruang fisik. Jauh atau dekatnya tergantung pada lokasi geografisnya. Mendefinisikan jarak dalam ruang fisik adalah hal yang wajar karena memang jarak fisik paling mudah dimengerti. Di lain pihak, sosiolog telah lama mengemukakan konsep jarak di luar ruang fisik, yaitu jarak di ruang sosial yang dinamakan jarak sosial. Jarak sosial memasukkan faktor pemisah nonfisik, misalnya perbedaan pendidikan, penghasilan, kekayaan, pekerjaan, kebangsaan, atau agama. Dalam interaksi sosial kadang faktor sosial tersebut lebih berperan daripada pemisahan secara geografis (fisik). Keluarga kaya yang bertetangga dengan keluarga miskin, misalnya, meskipun secara fisik dekat, tetapi jarak sosialnya jauh.

Sekarang ini, ilmu sosial, fisika, matematika, dan ilmu komputer telah bergabung untuk meneliti sebuah ruang baru yang sangat penting untuk mengerti berbagai fenomena dunia modern. Ruang itu adalah ruang jaringan (network space). Memang, matematikawan telah sejak lama mempelajari teori graf yang berhubungan dengan jaringan. Tetapi selama ini jaringan dalam teori graf diperlakukan hanya sebagai struktur statis. Dalam ilmu jaringan yang baru, selain struktur statis juga dipelajari dinamika dalam jaringan.

Satu contoh menarik yang menggambarkan pentingnya ruang jaringan berasal dari pengalaman ketika kita bertemu dengan orang yang tidak kita kenal. Setelah berkenalan dan berbincang-bincang beberapa saat, terkadang kita menemukan bahwa kita dengan orang yang baru kita kenal tersebut ternyata sama-sama mengenal seorang teman yang sama. Selanjutnya kita biasanya mengatakan, "...memang dunia ini kecil." Pengalaman ini membawa kita kepada apa yang disebut sebagai fenomena dunia kecil (small world phenomenon).

Fenomena dunia kecil ini bukan hanya menarik sebagai suatu pengalaman anekdotal, tetapi juga menarik perhatian ilmuwan untuk melakukan penelitian lebih serius. Eksperimen ilmiah pertama mengenai fenomena dunia kecil dilakukan pada tahun 1967 oleh psikolog sosial Stanley Milgram di Harvard University. Milgram melakukan eksperimen yang inovatif untuk meneliti jaringan sosial. Dalam eksperimen ini terdapat dua kelompok peserta yang dinamakan pengirim dan ’target’. Pengirim diminta untuk menyampaikan pesan kepada target yang telah dipilih sebelumnya. Kelompok pengirim diberi tahu biografi singkat mengenai target seperti nama, lokasi, dan pekerjaannya. Dengan bekal informasi ini, setiap pengirim berusaha menyampaikan surat kepada target dengan satu syarat: surat hanya boleh dikirimkan ke orang yang dikenal oleh si pengirim. Tentu jika pengirim mengenal target, maka ia dapat mengirimkan suratnya langsung kepada target. Tetapi kemungkinan ini sangat kecil karena kelompok pengirim pertama dan target dipilih secara acak, maka sangat besar kemungkinan pengirim pertama tidak mengenal target. Jadi kelompok pengirim juga terbagi dua, yaitu kelompok pengirim pertama dan kelompok pengirim lainnya yang menerima pesan dari pengirim sebelumnya dalam suatu rantai pesan. Kelompok pengirim pertama akan mengirimkan surat tersebut ke orang yang mereka kenal yang akan membuat surat itu mendekati target. Orang yang menerima surat selanjutnya menerima instruksi yang sama sehingga terbentuklah surat berantai menuju si target.

Dalam eksperimennya, Milgram memilih secara acak 300 orang peserta di Boston dan Omaha sebagai pengirim pertama. Milgram juga memilih seorang target yang bekerja sebagai pialang saham di Boston. Lalu Milgram mengirim surat kepada seluruh peserta dengan instruksi bahwa mereka harus mengirimkan surat-surat tersebut ke target yang berada di Boston melalui orang-orang yang dikenal oleh mereka. Sehingga terbentuk surat berantai menuju target yang berada di Boston. Surat berantai inilah yang menjadi alat untuk meneliti jaringan sosial masyarakat Amerika pada saat itu. Yang diteliti adalah peran jaringan sosial dalam suatu proses pencarian satu orang individu, yaitu si target. Pertanyaannya adalah, berapa tahap yang dibutuhkan supaya surat-surat tersebut sampai ke target?

Milgram memperoleh hasil yang mengejutkan, 60 surat sampai ke target dan panjang rata-rata dari pesan berantai adalah enam. Secara fisik jarak Omaha dan Boston cukup jauh, yaitu sekitar 2.000 kilometer. Jarak sosial antara 300 responden dengan target pun tidak dekat karena mereka dipilih secara acak. Meskipun secara geografis dan sosial mereka jauh terpisahkan, ternyata mereka dalam ruang jaringan memiliki jarak jaringan yang pendek. Milgram menarik kesimpulan bahwa orang-orang yang menurut persepsi kita terpisah dengan jarak fisik dan jarak sosial yang jauh ternyata memiliki jarak jaringan yang pendek seperti teman dekat kita.

Eksperimen Milgram menunjukkan bahwa selain ruang geografis dan sosial, ruang jaringan penting untuk diperhatikan. Dalam jaringan sosial, individu- individu dapat dipikirkan sebagai titik- titik yang dihubungkan satu sama lain membentuk suatu jaringan sosial besar. Hubungan antara titik-titik di jaringan tersebut merepresentasikan hubungan sosial, ekonomi, dan organisasi antarindividu.

Hasil Milgram bahwa rata-rata dibutuhkan enam langkah untuk menghubungkan siapa saja menjadi kultur pop di Amerika Serikat. Hal ini terjadi setelah pada tahun 1990-an John Guare membuat pertunjukan teater Broadway dengan judul Six Degrees of Separation. Selanjutnya Hollywood pun tak mau ketinggalan membuat film dengan judul yang sama, Six Degrees of Separation, yang dibintangi oleh Will Smith. Keduanya mempertunjukkan ide bagaimana setiap orang di dunia hanya dipisahkan oleh enam orang perantara. Selain itu, konsep six degrees of separation juga menjadi inspirasi untuk sebuah permainan di Internet mengenai jaringan artis film di seluruh dunia. Permainan ini tersedia di situs milik Departemen Ilmu Komputer Universitas Virgina (http://oracleofbacon.org/oracle/star_links.html).

Ide permainan ini adalah menghitung jumlah tahapan yang diperlukan untuk menghubungkan dua artis film di dunia. Dua artis terhubungkan jika pernah bermain bersama dalam satu film. Meskipun terdapat ratusan ribu artis film di seluruh dunia, tetapi jarak jaringan antara mereka sangat dekat. Jika kita gunakan situs di Universitas Virginia untuk mencari jarak antara, misalnya, bintang Indonesia Dian Sastro dan bintang Hollywood Jodie Foster, ternyata jaraknya hanya empat! Dian Sastro bermain bersama Frans Tumbuan dalam Ada apa dengan Cinta?, Frans Tumbuan bermain dengan Martin Kove di film Without Mercy, Martin Kove pernah bermain bersama Charles Napier di Extreme Honor, dan Charles Napier bermain bersama Jodie Foster dalam film Silence of the Lambs. Jadi pada jaringan bintang film dunia, jarak jaringan antara Dian Sastro dan Jodie Foster adalah empat, ini jarak yang sangat dekat jika dibanding dengan ratusan ribu bintang film yang ada di jaringan tersebut.

Meskipun ide tentang fenomena dunia kecil menjadi populer, riset di bidang jaringan ini tidak banyak berkembang. Tidak berkembangnya penelitian teori jaringan setelah Milgram disebabkan oleh tiga alasan. Pertama, sangat sulit untuk melakukan eksperimen dunia kecil model Milgram dalam skala besar. Kedua, data mengenai jaringan sulit diperoleh. Dan ketiga karena analisa jaringan kompleks hanya bisa dilakukan oleh komputer modern.

Hasil Milgram bukan berarti bahwa ruang geografis dan ruang sosial tidak penting. Ruang jaringan sosial justru dibentuk berdasarkan ruang geografis dan ruang sosial. Kita lebih mungkin berkenalan dengan seseorang yang tinggal di sekitar tempat tinggal kita, atau lebih mungkin mengenal seseorang dari kelompok sosial yang setaraf dengan kita. Tetapi orang masih belum mengerti hubungan antara ruang fisik dan sosial dengan ruang jaringan.

Meskipun demikian, keadaan mulai berubah sejak lima tahun terakhir. Dimulai pada tahun 1998 ketika fisikawan Duncan Watts dan matematikawan Steve Strogatz dari Cornell University membuat sebuah model matematis yang mampu menjelaskan mengapa dan bagaimana fenomena dunia kecil dapat terjadi. Jaringan yang memiliki sifat dunia kecil di mana anggota jaringannya dapat dihubungkan satu sama lain dalam langkah yang pendek dinamakan jaringan dunia kecil (small world networks). Penelitian mereka yang diterbitkan di jurnal Nature memicu gelombang riset di bidang teori jaringan. Para peneliti cepat menemukan bahwa fenomena dunia kecil tidak hanya ada di jaringan sosial, tetapi juga terdapat di jaringan biologis, ekonomi, rekayasa, dan budaya. Jaringan dunia kecil di antaranya ditemukan di jaringan listrik, jaringan saraf, jaringan reaksi biokimia, jaringan direktur perusahaan-perusahaan, jaringan kolaborasi ilmuwan hingga jaringan bintang film.

Studi eksperimen dalam ilmu jaringan juga semakin berkembang, terutama pada zaman Internet ini. Di Columbia University, New York, saya bersama seorang bekas fisikawan yang telah menjadi profesor sosiologi, Duncan Watts, dan seorang matematikawan lulusan MIT yang tertarik meneliti masalah sosial, Peter Dodds, baru-baru ini menggunakan Internet untuk sebuah eksperimen yang merupakan replikasi eksperimen Milgram. Eksperimen ini adalah eksperimen pertama mengenai fenomena dunia kecil yang dilakukan dalam skala global. Kami berhasil menjaring lebih dari 60.000 peserta dari 167 negara di dunia untuk berpartisipasi dalam eksperimen dunia kecil (http://smallworld.columbia.edu). Seperti dalam eksperimen Milgram, para peserta diminta untuk mengirimkan surat elektronik menuju 18 orang target di seluruh dunia, termasuk di antaranya di Nikaragua, Siberia, Indonesia, dan India. Peserta diminta mengirimkan pesan melalui situs kami sehingga kita dapat mengikuti perjalanan pesan-pesan tersebut. Eksperimen kami yang telah diterbitkan di jurnal ilmiah Science edisi 8 Agustus 2003 menemukan bahwa panjang rata-rata rantai pesan untuk mencapai target adalah antara lima dan tujuh. Rantai memiliki panjang rata-rata lima jika pengirim awal dan target berada dalam satu negara, dan rata-rata tujuh jika pengirim awal dan target berada di lain negara.

Pencarian di jaringan

Aplikasi menarik dari eksperimen sosial mengenai dunia kecil ini justru ada di ilmu komputer. Kita perhatikan terdapat dua hal penting yang saling berkaitan dalam fenomena dunia kecil ini. Pertama adalah masalah struktur jaringan, yaitu apakah ada jalur singkat yang dapat menghubungkan seluruh orang di dunia dalam tahapan yang pendek? Kedua adalah proses pencarian sosial yang terjadi dalam struktur jaringan, yaitu jika jalur singkat itu ada, apakah individu dapat menemukannya, dan jika dapat, bagaimana? Eksperimen dunia kecil menunjukkan bahwa jalur singkat memang ada dan orang dapat menemukannya! Artinya, meskipun jaringan sosial global sangatlah kompleks, individu dengan informasi terbatas secara kolektif mampu melakukan proses pencarian sosial dan berhasil.

Berhasilnya orang melakukan proses pencarian di jaringan sosial global adalah luar biasa. Kita bandingkan proses pencarian dalam jaringan komputer. Proses pencarian dalam jaringan komputer membutuhkan database terpusat. Misalnya mesin pencari di Internet seperti Google atau Yahoo memiliki pusat data sehingga memudahkan kita untuk memperoleh informasi di jaringan Internet secara cepat. Tetapi database terpusat ini memiliki kapasitas terbatas, semakin banyak data, maka semakin sulit dan mahal untuk memeliharanya. Sedangkan dalam jaringan sosial tidak tersedia database terpusat yang memuat informasi lengkap seluruh orang di dunia. Meskipun demikian, eksperimen membuktikan orang tetap mampu melakukan proses pencarian sosial. Di sini kita menemukan satu hal yang mampu dilakukan manusia tapi tak mampu dilakukan komputer. Proses pencarian sosial ini sebetulnya sudah sering kita lakukan. Misalnya ketika mencari koneksi untuk mendapatkan pekerjaan, atau ketika kita melakukan networking dalam pesta atau kumpul-kumpul bersama teman. Kita melakukan navigasi dalam jaringan sosial untuk menemukan orang yang kita perlukan. Jika kita bisa mempelajari bagaimana individu melakukan pencarian sosial tanpa database terpusat, maka suatu saat kita bisa terapkan pengetahuan itu ke jaringan komputer untuk mendapat algoritma proses pencarian yang lebih efisien.

Jaringan dan dinamika kolektif

Implikasi dari riset teori jaringan sangat luas. Meskipun demikian, seperti halnya segala sesuatu yang baru lahir, ilmu jaringan diimpit berbagai keterbatasan tetapi memiliki potensi yang luas. Ilmu jaringan masih merupakan ilmu dasar yang membantu kita mengerti masalah. Mengerti permasalahan adalah langkah krusial pertama sebelum pemecahan masalah. Seperti halnya sebelum para insinyur membuat pesawat terbang, sebelumnya fisikawan harus mengerti prinsip-prinsip mekanika.

Untuk melihat pentingnya peranan jaringan dalam penyebaran ide, mari kita lihat contoh kasus suksesnya buku Harry Potter yang terjual lebih dari 200 juta kopi di lebih dari 200 negara dan telah diterjemahkan ke dalam 55 bahasa. Penjelasan untuk sukses yang fenomenal ini biasanya difokuskan kepada buku Harry Potter yang memiliki kualitas luar biasa dengan cerita sangat menarik sehingga disukai banyak orang. Mungkin ini memang benar. Tetapi, kadang kita lupa buku Harry Potter ditolak berkali-kali oleh penerbit besar sebelum diterbitkan penerbit Bloomsbury yang saat itu hanya sebuah penerbit kecil. Jika memang kualitas bukunya eksepsional, mengapa tidak terlihat oleh para pakar buku di penerbit besar? Jika ini memang yang terjadi, kemungkinan besar banyak buku berkualitas lain yang tak pernah sampai ke toko buku dan banyak buku berkualitas biasa-biasa saja sukses di pasaran. Artinya, ada kasus di mana sukses atau tidaknya penyebaran suatu ide tidak hanya ditentukan oleh kualitas ide tersebut. Jaringan di mana informasi mengenai ide tersebut mengalir berperan penting. Harry Potter pertama kali diterbitkan tanpa bantuan marketing yang luar biasa. Ia pertama kali terbit seperti halnya buku anak-anak biasa. Berkat penyebaran informasi dari mulut ke mulut menggunakan jaringan sosial, akhirnya orang mengetahui dan tertarik untuk membeli buku itu.

Proses penularan sosial (social contagion) dapat dicontohkan pula oleh merebaknya tren di kalangan remaja. Di kalangan remaja Amerika menyebar tren untuk memasang anting-anting di bagian tubuh selain telinga. Seorang remaja yang diwawancara mengatakan, ia melakukannya bukan karena ingin membuat orangtuanya marah atau mengikuti teman-temannya, tapi hanya karena dia merasa "ingin melakukannya". Pertanyaan selanjutnya, mengapa dia ingin melakukannya? Tak pelak dia akan menjawab bahwa itu adalah keputusan pribadinya yang independen sebagai ekspresi kebebasan. Kebebasan dan independensi adalah mantra utama kaum remaja Amerika. Tetapi, jika diperhatikan, pola tren memasang anting-anting ini bukan fenomena independen. Kita dapat melihat proses penularan sosial dari satu daerah ke daerah lain dalam kalangan sosial tertentu. Ada pola teratur dalam penyebaran tren ini meskipun para pelakunya mengklaim mereka melakukannya secara independen tidak dipengaruhi orang lain. Dalam proses penularan sosial, secara sadar atau tidak, keputusan yang diambil individu dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan tindakan yang diambil menjalarkan dan memperkuat efek yang ada secara kolektif. Ini adalah contoh proses pengambilan keputusan sosial (social decision making) dalam munculnya tren. Karena informasi mengalir dalam jaringan sosial, maka dalam proses pengambilan keputusan sosial, struktur jaringan penting dalam menentukan seberapa jauh tren yang muncul tersebar.

Komputer Dalam mencari pekerjaan atau menyelesaikan masalah besar secara rutin kita menggunakan koneksi sosial yang kita miliki. Untuk membuat keputusan dalam memilih restoran, memilih film apa yang akan ditonton, atau memilih model telepon genggam apa yang mau dibeli, kita sering memperhatikan nasihat atau tindakan teman-teman kita. Kita mengambil manfaat dari jaringan sosial yang kita miliki. Di sisi lain jika misalnya komputer kita terinfeksi virus komputer, komputer milik teman-teman kitalah yang paling berisiko tertular. Apakah kita berhadapan dengan individu dengan masalah sehari-hari atau dengan perusahaan raksasa yang yang perlu mengatasi sebuah krisis, jaringan sosial berperan penting.

Hal paling mendasar dari skenario dalam kehidupan sehari-hari di atas adalah pentingnya peran jaringan sosial di mana informasi, pengaruh, dan sumber daya mengalir. Terkadang jaringan menguntungkan kita, dan di lain waktu melukai kita. Menjadi bagian dari jaringan yang terkoneksi adalah sekaligus baik dan buruk. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita selalu menjadi bagian dari jaringan. Dalam jaringan setiap keputusan yang diambil adalah keputusan kolektif. Setiap keputusan kita dipengaruhi dan mempengaruhi tindakan orang lain, dan juga keputusan orang lain dipengaruhi dan mempengaruhi tindakan kita.

Oleh karena itu, di era global yang terkoneksi ini, berpikir menggunakan pola pikir jaringan menjadi keharusan.

di Tulis Oleh: Roby Muhamad Mahasiswa Program Doktor Departemen Sosiologi, Columbia University, New York. Alumni Departemen Fisika, Institut Teknologi Bandung


[Sumber: yang diambil oleh Admin Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh Silahkan Lihat Di News Kompas Cyber Media]

Menjelajahi Sains Lewat Dunia Sosial

Property Pribadi Suriya-aceh Info-Anak-MeulabohDoc. Pribadi Ilustrasi Gambar Blog Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh: Menjelajahi Sains Lewat Dunia Sosial
"Yet we must… exhaust the resources of the concept of the experience before attaining and in order to attain, by deconstruction, its ultimate foundation. It is the only way to escape ’empiricism’ and the ’naïve’ critique of experience at the same time."
Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh Menjelajahi Sains Lewat Dunia Sosial - FEBRUARI 1661. Hawa musim dingin masih menyelimuti Kota London. The Royal Society yang baru berusia satu tahun sedang menerima kunjungan Duta Besar Kerajaan Denmark. Pertemuan dengan tamu agung ini bukanlah pertemuan biasa. Ada satu peristiwa menarik. Robert Boyle, salah satu pendiri organisasi ilmuwan bergengsi ini, mendemonstrasikan sebuah pompa udara hasil kerja selama beberapa tahun bersama Robert Hooke di Oxford. Machina Boyleana itu terdiri dari sebuah bola kaca yang berisi udara yang disambungkan pada sebuah pompa di bagian bawah. 

Ketika pompa itu ditarik, bola kaca tersebut menjadi ruang hampa udara. Para tamu yang hadir terkesima. Mereka menjadi saksi kemenangan Boyle atas tesis Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa udara tidak akan meninggalkan bola kaca. Melalui pompa udara ini, Boyle dapat membuktikan bahwa volume dari sebuah tabung berbanding terbalik dengan tekanan yang ada di dalamnya. Hukum Boyle lahir dari pompa ini.

POMPA udara Boyle adalah mesin yang memproduksi fakta dan menguji keabsahan suatu pengetahuan. Bagi Boyle, fakta ilmiah hanya dapat lahir dari eksperimen yang dilakukan secara empiris. Di sinilah tonggak awal sains modern dimulai. Eksperimen menjadi bagian signifikan dalam epistemologi sains. Eksperimen adalah ruang di mana fakta ilmiah "ditemukan". Dalam sains, fakta ilmiah bersifat self-explanatory, dalam arti dia menjelaskan dirinya sendiri. Saintis "hanyalah" pengamat yang menjadi modest witness atau saksi jujur bagaimana fakta tersebut dimunculkan melalui suatu konfigurasi teknis material. Klaim obyektivisme menuntut saintis untuk berada di wilayah yang terpisah dari fakta yang diamatinya.

Apakah suatu obyek pengetahuan bersifat self-explanatory? Di manakah sebenarnya posisi ontologis manusia dalam proses produksi pengetahuan dalam sains? Sejauh manakah klaim atas obyektivitas sains dapat dijadikan pegangan? Apakah sains merupakan suatu ruang vakum yang lepas sama sekali dari segala bentuk imajinasi manusia? Pertanyaan-pertanyaan besar inilah yang menjadi landasan dan motivasi bagi studi sains kontemporer dalam memahami relasi antara manusia dan ilmu pengetahuan yang dihasilkannya.

Bagi para sarjana studi sains (science studies), sains adalah produk sosial. Dia diproduksi melalui mekanisme interaksi dan negosiasi yang terbentuk dari suatu sistem sosial yang sarat dengan bentukan-bentukan imajinatif, seperti nilai, makna, cara pandang, ideologi, dan kepercayaan. Memahami sains melalui dimensi sosial secara epistemologis menarik sekaligus menantang. Menarik karena sains adalah karya manusia, di mana manusia itu sendiri adalah spesies yang tidak pernah lepas dari dunia sosial. Menantang karena pengetahuan ilmiah selama ini dipahami sebagai hasil murni kemampuan logika manusia yang lepas dari faktor sosial.

Generasi awal

Berkembangnya sains modern di Eropa yang dipicu oleh semangat Enlightenment telah menjadi perhatian banyak pemikir sosial abad ke-19. Dalam catatan Sal Restivo, sains telah menjadi salah satu kajian dalam karya Karl Marx. Bagi Marx, tidak hanya material dan bahasa yang digunakan para saintis dalam mengamati fenomena alam adalah produk sosial, keberadaan para saintis juga merupakan suatu fenomena sosial. Beberapa kontribusi terpenting Marx dalam studi sains antara lain pemahaman relasi antara praktik matematika dan sistem produksi. 

Bagi Marx, sains adalah produk kaum borjuis. Karena itu, apa yang dilakukan Marx dalam memahami sains berlanjut pada agenda politik untuk melakukan perubahan fundamental dalam sains modern. Pada titik ini, dalam analisis Restivo, Marx bersikap inkonsisten. Pada satu sisi dia mengkritik sains sebagai alat eksploitasi kaum pemilik modal, tetapi di sisi lain dia mendukung penggunaan sains bagi tujuan-tujuan politik kaum proletar.

Cikal bakal studi sains dibentuk oleh Emile Durkheim dan Max Weber. Seperti Marx, keduanya memahami sains dari sudut pandang sosiologis. Bagi Durkheim, konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan dalam sains memiliki status representasi dan elaborasi kolektif. Weber sendiri memberi perhatian serius pada keterkaitan antara kapitalisme, Protestanisme, dan sains modern. Pemikiran Weber dan Durkheim memberi jalan bagi terbentuknya sosiologi sains sebagai suatu disiplin dalam tradisi akademik di Eropa Barat dan Amerika Utara.

Mertonian vs Kuhnian

Munculnya sosiologi sains sebagai suatu disiplin pada awal abad ke-20 banyak dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Robert Merton adalah sosok sentral dalam bidang ini dan dapat disebut sebagai bapak sosiologi sains. Merton menyelesaikan studinya di Harvard pada tahun 1934 dengan disertasi yang menjadi buku berjudul The Sociology of Science. Buku ini menjelaskan relasi antara sains dan institusi sosial di mana sains itu berada. Tesis Merton mengatakan bahwa sains modern hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam kondisi sosiokultural tertentu.

Hingga dekade 1970-an, paradigma Mertonian mendominasi perkembangan sosiologi sains. Gagasan besar dalam sosiologi sains Mertonian dapat dirangkum dalam norma sains (norms of science) yang terdiri atas empat nilai fundamental yang membentuk etos sains.

Pertama universalisme, yakni kepercayaan bahwa klaim kebenaran lepas dari kriteria personal seperti ras, kebangsaan, atau agama. Kedua komunisme (bukan dalam makna ideologi), yakni setiap penemuan dalam sains menjadi milik bersama dalam komunitas sains tersebut. Ketiga ketiadaan kepentingan, yakni pengetahuan bersifat bebas nilai dan kepentingan. Keempat skeptisisme yang terorganisasi, yakni bahwa perkembangan pengetahuan muncul dari sikap skeptis kolektif para saintis terhadap setiap pemahaman atas fenomena alam.

Sosiologi sains Mertonian berlandaskan pada satu asumsi bahwa sifat dan perkembangan sains ditentukan oleh faktor sosial dan faktor imanen. Yang dimaksud dengan faktor imanen adalah perkembangan logika dalam sains (inner logic). Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam sosiologi sains Mertonian, pengetahuan ilmiah masih lepas dari analisis sosial. Belakangan norma sains Mertonian mendapat kritik tajam karena keempat norma tersebut tidak lebih dari representasi ideologi sains itu sendiri.

Pada tahun 1962, Thomas Kuhn, seorang fisikawan yang kemudian berkarier sebagai sejarawan sains, menerbitkan The Structure of Scientific Revolution. Lewat buku ini Kuhn melontarkan istilah paradigma yang mengacu pada cara pandang kelompok ilmiah tertentu terhadap suatu fenomena. Walaupun tidak memiliki latar belakang sosiologi, karya Kuhn memberi kontribusi penting dalam sosiologi sains. Kuhn memberi penjelasan alternatif terhadap apa yang dilakukan Merton selama beberapa dekade sebelumnya. 

Karena itu, paradigma Kuhnian sering diasosiasikan sebagai anti-Mertonian. Karya Kuhn menarik banyak orang karena dia menggunakan model politik dalam menjelaskan perkembangan sains. Kuhn memakai istilah revolusi untuk menggambarkan proses invensi dalam sains dan memberi penekanan serius pada aspek wacana ilmiah. Bagi Kuhn, revolusi ilmiah dan revolusi politik memiliki karakter yang sama. Keduanya terbentuk dari persepsi yang ada di masyarakat bahwa institusi di mana mereka berada sudah tidak bekerja dengan baik. Persepsi ini lalu menstimulus lahirnya krisis yang menuju pada revolusi dengan tujuan perubahan institusional.

Orientasi anti-Mertonian bagaimanapun tidak menjadikan Kuhn sepenuhnya bertolak belakang dengan Merton. Kuhn masih menerima penjelasan Merton tentang norma sains. Walaupun telah memicu perubahan dalam pemahaman sains, Kuhn sendiri tidak lepas dari kritikan. Studi empiris yang dilakukan Sal Restivo dan Randal Collins tentang paradigma sains Kuhnian menyimpulkan bahwa pola perubahan dalam sains secara substansial berbeda dengan apa yang dilontarkan oleh Kuhn. Model Kuhnian juga dikritik karena mengacu pada revolusi sistem politik modern yang semata-mata terjadi melalui sirkulasi kaum elite.

Genre konstruktivisme

Jika Max Weber membuka jalan bagi terbentuknya disiplin sosiologi sains, khususnya paradigma Mertonian, pemikiran Emile Durkheim tentang representasi kolektif memberi inspirasi bagi gerakan sosiologi sains pasca-Mertonian atau yang disebut sebagai the new sociology of science. Sosiologi sains baru tidak hanya mengkaji aspek institusional dalam sains, tetapi masuk ke dalam wilayah yang lebih dalam. Di sini pengetahuan ilmiah dijadikan obyek analisis sosial, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Merton dan para muridnya. Karena itu, sosiologi sains baru sering diidentikkan dengan sosiologi pengetahuan ilmiah (sociology of scientific knowledge).

Ciri kuat dari sosiologi sains baru adalah penggunaan kerangka konstruktivisme. Konsep konstruktivisme sosial yang menjelaskan produksi pengetahuan ilmiah pertama kali digunakan Ludwik Fleck dalam bukunya, The Genesis and Development of a Scientific Fact. Buku ini pertama kali terbit pada tahun 1935 dalam bahasa Jerman. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1979, barulah pemikiran Fleck mendapat perhatian serius dari para sarjana studi sains.

Fleck memperkenalkan konsep gaya berpikir (thought style) yang menyerupai konsep representasi kolektif Durkheimian. Gaya berpikir mengacu pada perilaku berpikir, asumsi kultural dan keilmuan, pendidikan dan pelatihan profesional, serta minat dan kesempatan, yang mana kesemuanya membentuk persepsi dan cara menghasilkan teori (theorizing).

Strong Programme adalah salah satu kubu studi sains yang kental dengan pendekatan konstruktivisme. Tokoh sentral Strong Programme adalah David Bloor. Bagi Bloor, sains tidaklah berkembang secara linier seperti yang dipahami secara luas. Sains berkembang membentuk cabang-cabang yang kompleks sesuai dengan heterogenitas dalam sistem sosial. Diterimanya suatu konsep ilmiah sebagai paradigma tunggal dalam memahami suatu fenomena tidak lain karena adanya faktor dan konteks sosial tertentu yang bekerja dalam proses penerimaan itu. Karena itu, pengetahuan dalam sains dapat berbeda mengikuti bentukan sosial.

Tokoh lain dalam gerakan sosiologi sains baru adalah Bruno Latour. Latour adalah salah satu penggagas actor-network theory (ANT) yang menjelaskan lahirnya suatu pengetahuan melalui relasi antara masyarakat (konstruktivisme sosial) dan alam (realisme). Dalam ANT, sosiolog sains memberikan perhatian tidak semata-mata pada manusia (actant), tapi juga pada benda dan obyek (non-actant) secara simetris. Bersama Steve Woolgar, Latour melakukan studi etnografi di laboratorium endocrinology Salk Institute.

Hasil studi ini menghasilkan Laboratory Life: The Social Construction of Scientific Facts. Dalam buku ini Latour dan Woolgar mengungkap budaya dalam laboratorium yang membentuk korespondensi antara kelompok peneliti sebagai suatu jaringan dengan seperangkat kepercayaan, perilaku, pengetahuan yang sistematis, eksperimen, dan keterampilan yang terkait satu sama lain secara kompleks. Menurut Latour dan Woolgar, dalam suatu laboratorium, kegiatan observasi bersifat lokal dan memiliki budaya spesifik.

Andrew Pickering patut disebut dalam khazanah sosiologi sains baru. Dalam Constructing Quarks, Pickering yang memiliki latar belakang fisika teori menjelaskan secara sosiologis lahirnya konsep quark. Bagi kalangan fisikawan, quark lahir dari bukti empirik yang didapatkan melalui eksperimen. Eksperimen itu sendiri dapat dipahami secara sempurna karena bekerja dalam suatu sistem yang tertutup (closed system).

Permasalahannya, menurut Pickering, eksperimen bukanlah suatu sistem yang tertutup. Dia sangat tergantung pada teori yang menjadi landasannya. Di lain pihak, pemilihan teori sebagai raison d’etre suatu eksperimen tergantung dari penilaian (judgment) para saintis. Pada titik inilah praktik sains dibangun melalui tiga elemen yang saling mempengaruhi satu sama lain, yakni eksperimen, teori, dan penilaian. Karena itu, menurut Pickering, realitas quark adalah hasil dari praktik fisika partikel, bukan sebaliknya. Konsep quark lahir dari proses penilaian dan pemilihan teori dan tidak muncul begitu saja dari serangkaian eksperimen.

Kerangka konstruktivisme dalam studi sains telah memicu konflik intelektual antara para saintis dan para sarjana studi sains. Penjelasan konstruktivisme sosial dianggap ancaman terhadap integritas, legitimasi, dan otonomi sains. Konstruktivisme, yang sering diasosiasikan sebagai relativisme, dianggap menafikan apa yang telah dicapai sains dalam memahami fenomena alam. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Restivo, para konstruktivis dalam studi sains bukanlah antirealisme. Tidak sedikit dari mereka yang mempertahankan metode dan cara pandang dalam sains. 

Sebagai contoh adalah Strong Programme yang secara epistemologis menggabungkan metode sains dan sosiologi dalam memahami sains sebagai konstruksi sosial. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bloor sendiri bahwa hanya dengan metode sains, para sosiolog dapat memahami sains. Kasus Latour juga tak kalah menarik. Dalam edisi kedua Laboratory Life, kata social dalam subjudul dihilangkan. Tidak lama setelah itu tuduhan sebagai "pengkhianat" konstruktivisme ditujukan kepada Latour. Belakangan Latour sendiri menolak untuk disebut sebagai konstruktivis. Bagi Latour, sains adalah media untuk memahami masyarakat, bukan sebaliknya.

Sains dan budaya

Memasuki dekade tahun 1990-an, studi sains menjadi lebih semarak dengan bergabungnya para antropolog dalam tradisi intelektual ini. Selama lebih dari satu dekade terakhir, para sarjana studi sains dari disiplin ini memberi kontribusi dalam memahami bagaimana pengetahuan dalam sains diproduksi melalui proses pemaknaan dan praktik budaya.

Pemahaman budaya dalam sains dijelaskan oleh Timothy Lenoir. Lenoir berargumen bahwa pengetahuan adalah hasil interpretasi di mana obyek pengetahuan dan pengamat (interpreter) tidak berdiri secara terpisah satu sama lainnya. Aktivitas interpretasi adalah praktik budaya yang melibatkan faktor kognitif dan faktor sosial yang saling berimplikasi satu sama lain. Kedua faktor ini senantiasa melekat pada para pelaku produksi pengetahuan (saintis). Dengan pemahaman sains sebagai praktik budaya, Lenoir menolak klaim Merton tentang universalisme dan disinterestedness dalam sains karena pengetahuan selalu bersifat lokal, parsial, dan dilandasi kepentingan.

Secara antropologis, sistem pengetahuan terbentuk dari upaya manusia untuk bertahan hidup melalui pemahaman regularitas yang terjadi di alam. Sandra Harding mengidentifikasi empat jenis elemen budaya yang membentuk inti kognitif dari sistem pengetahuan. Pertama, karena alam tidak bersifat seragam (uniformly organized), regularitas alam yang berbeda yang dialami oleh sistem kebudayaan yang berbeda lokasi akan menghasilkan sistem pengetahuan yang berbeda pula. Kedua, bentuk kepentingan sosial berbeda dalam setiap sistem budaya. 

Karena itu, setiap sistem budaya menghasilkan perbedaan dalam pola pengetahuan. Ketiga, sistem budaya membentuk wacana dalam proses produksi pengetahuan yang selanjutnya mempengaruhi cara pandang dan pola intervensi masyarakat dalam sistem budaya tersebut. Terakhir, bentuk-bentuk organisasi sosial dalam penelitian ilmiah yang berbeda secara kultural akan mempengaruhi isi dari sistem pengetahuan.

Catatan Harding di atas mengindikasikan bahwa sains dikonstruksi melalui budaya. Artinya, wacana sistem pengetahuan tidak pernah lepas dari konteks budaya di mana sistem pengetahuan tersebut berada. Studi Pamela Asquith dapat dijadikan satu contoh menarik. Asquith melakukan studi komparasi kultural dan intelektual antara primatologi Barat (Eropa dan Amerika) dan primatologi Jepang. Asquith mencari heterogenitas dalam sains dengan membandingkan cara pandang, bentuk pertanyaan, dan metode penelitian primatologi di kedua sistem budaya tersebut. Dari studi ini, Asquith mengamati satu hal yang menarik. 

Dalam pandangan Kristen yang mempengaruhi para primatologis Barat, hanya manusia yang memiliki jiwa. Pandangan ini "menghalangi" primatologis Barat untuk melihat kualitas mental yang membentuk perilaku sosial primata yang kompleks. Sebaliknya, sistem kepercayaan masyarakat Jepang mempercayai bahwa setiap hewan memiliki jiwa. Hal ini membuat primatologis Jepang memberi perhatian serius pada atribut motivasi, perasaan, dan personalitas yang ditunjukkan oleh hewan primata yang mereka amati. 

Perbedaan sistem kepercayaan tentang posisi manusia di dunia ini menjadikan pengetahuan yang dihasilkan oleh primatologis Barat berbeda dengan rekan sejawatnya di Jepang. Primatologi Barat cenderung bersifat fisiologis, sementara primatologi Jepang lebih bersifat sosiologis dan antropormorfis. Perbedaan ini berdampak pada perbedaan pengetahuan yang dihasilkan dalam kedua tradisi primatologi tersebut walaupun mereka mengamati obyek yang sejenis.

Studi komparasi kultural juga dilakukan Sharon Traweek yang membandingkan praktik fisika energi tinggi di Amerika Serikat dan Jepang. Jika Asquith mencari pengaruh budaya terhadap bentuk pengetahuan, Traweek mengamati bagaimana nilai budaya direpresentasikan melalui model organisasi sains. Pada studi ini, Traweek melihat nilai individualisme dan persaingan yang melandasi sistem organisasi riset Amerika. 

Adapun di Jepang, nilai-nilai komunalisme dan kerja sama sangat dominan. Perbedaan dalam nilai budaya ini terefleksi dalam banyak hal yang mencakup proses pembelajaran dan pengajaran, organisasi laboratorium dan kelompok, gaya kepemimpinan, dan proses pengambilan keputusan. Walaupun Traweek tidak menjelaskan apakah perbedaan nilai budaya ini mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan, setidaknya studi Traweek menunjukkan bahwa nilai budaya melekat erat pada sistem organisasi ilmiah.

Jika Asquith dan Traweek mengamati praktik sains dalam dua sistem budaya, Karen Knorr-Cetina membandingkan dua praktik sains modern, yaitu fisika partikel dan biologi molekuler. Knorr-Cetina mengamati bagaimana fragmentasi dan diversitas dalam sains modern membentuk dua budaya pengetahuan (epistemic culture) yang berbeda dalam aspek cara mengetahui (machineries of knowing). Dari hasil studinya selama beberapa tahun di laboratorium-laboratorium di Eropa dan Amerika Utara, Knorr-Cetina mengungkap perbedaan struktur simbolik dari kedua bidang ilmiah tersebut. Struktur simbolik ini terepresentasi melalui cara pendefinisian entitas, sistem klasifikasi, dan cara di mana strategi epistemik, prosedur empirik, dan strategi sosial dipahami. 

Analisis ini menghasilkan pemahaman bahwa dalam proses produksi pengetahuan, proses tanda, pengerjaan eksperimen, relasi antara waktu dan ruang, dan relasi antara tubuh dan mesin secara kultural berbeda antara praktik fisika partikel dan biologi molekuler. Melalui studi komparasi silang disiplin ini, Knorr-Cetina mengatakan bahwa sains modern tidaklah menyatu seperti yang diklaim kaum positivis.

Sains dan studi sains

Konsep dan teori yang dikembangkan dalam studi sains berangkat dari pemahaman sains sebagai institusi sosial dan pengetahuan ilmiah sebagai produk sosial. Melalui pemahaman ini, studi sains membuka suatu jendela baru di mana kita bisa memandang perkembangan sains dari perspektif yang lebih luas. Dalam perspektif ini, sains tidak lagi muncul sebagai suatu entitas yang integratif, rigid, dan berkembang secara linier, melainkan bagai suatu tanaman bercabang-cabang yang tumbuh di atas tanah sosial.

Pemahaman sains melalui dimensi sosial yang ditawarkan studi sains berdampak pada demistifikasi sains secara institusional ataupun epistemologikal. Ini merupakan implikasi politis yang tidak dapat dihindari. Ketergantungan masyarakat kontemporer terhadap sains telah menempatkan sains pada posisi sakral dan bersifat ideologis. Mistifikasi sains yang begitu kental dalam masyarakat ini memungkinkan praktik hegemoni kekuasaan dan kepentingan bersembunyi dengan rapi di balik jargon-jargon ilmiah. 

Tanpa menafikan apa yang telah dihasilkan sains bagi umat manusia, studi sains memberi penyadaran kepada diri kita bahwa sains adalah hasil karya manusia dalam berinteraksi dengan alam. Sains bukanlah sekumpulan ayat-ayat suci yang turun dari langit. Pengetahuan ilmiah adalah wujud kreativitas dan imajinasi manusia dalam memahami ruang dan waktu di mana dia berada. Pemahaman dimensi sosial sains dapat menjadi lensa untuk melihat bahwa pengetahuan tidaklah tunggal dan monolitik. Kepercayaan bahwa hanya ada satu cara melihat alam justru melawan hakikat manusia sebagai makhluk multikultural.

Lalu, apakah studi sains menawarkan relativisme? Donna Haraway memberi jawaban menarik. Haraway menolak relativisme sekaligus universalisme yang diklaim para saintis. Haraway berargumen bahwa obyektivitas dalam sains tidaklah tunggal. Karena itu Haraway menawarkan praktik difraksi, di mana obyektivitas dan realisme agensi dalam produksi pengetahuan memiliki posisi yang sama pentingnya. Ini yang disebut Ron Eglash sebagai obyektivitas ganda (multiple objectivity). Haraway mengajak kita untuk menggunakan domain budaya lain dalam sains yang selama ini termarginalisasi oleh dominasi narasi budaya Barat. Hawaray menginginkan adanya suatu budaya sains yang lebih kompleks dan beragam tanpa harus menjadi antirealisme.

Selama beberapa dekade, studi sains telah memberi kontribusi pada pemahaman yang lebih komprehensif tentang sains dan relasinya dengan masyarakat. Lepas dari konflik antara para saintis dan sarjana studi sains dalam episode Science Wars, apa yang dihasilkan dalam studi sains sedikit banyak telah mempengaruhi perjalanan sains secara dinamis. Sebaliknya, sains pun telah memberi banyak kontribusi bagi studi sains untuk tumbuh dan berkembang sebagai suatu disiplin. Karena tanpa sains, studi sains tidak berarti apa-apa.

di Tulis Oleh: Sulfikar Amir Mahasiswa Program Doktor Departemen Studi Sains dan Teknologi, Rensselaer Polytechnic Institute


[Sumber: yang diambil oleh Admin Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh Silahkan Lihat Di News Kompas Cyber Media]