Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-18

Property Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-18

Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-18 Di Aceh, para ulama menyerukan agar rakyat bersama-sama bahu-membahu menghadang tentara Belanda yang hendak menjajah kembali. Rakyat Aceh bukan saja siaga mempertahankan Tanah Rencong, tetapi juga mengambil inisiatif untuk memerangi Belanda di perbatasan selatan, yakni di Medan yang kala itu dikenal sebagai front Sumatera Timur (Medan Area).

Ribuan laskar Aceh mengalir dari pesisir Barat dan Timur serta dari dataran tinggi Gayo lewat Kutacane ke Medan Area guna berjuang mati-matian menghadang Belanda yang hendak menembus Aceh lewat Medan.

Berkarung-karung beras dikirim dari Aceh menuju kantong pertahanan republik di front Sumatera Timur. Ribuan lembu dan kerbau, ribuan karung emping dari beras dan melinjo, dan seluruh logistik yang ada mengalir deras dari Serambi Mekkah ke Medan Area. Demikian pula aneka senjata, mortar, dan amunisi.

Dari berbagai keterangan, bantuan logistik dari Aceh ternyata mengalir juga untuk front Tapanuli dan Sumatera Barat. Pertempuran di Medan Area berlangsung dengan amat dahsyat. Ribuan perempuan, anak-anak kecil, dan orangtua mengungsi ke Aceh. Di Aceh, mereka disantuni dengan amat baik dan dianggap sebagai sanak-saudara oleh rakyat Aceh.

Sikap nasionalisme dan pengorbanan rakyat Aceh sangat tinggi. Walau dalam keadaan yang pas-pasan, saat pemerintah pusat menganjurkan rakyat agar membeli obligasi yang dikeluarkan guna mengisi kas pemerintah yang nyaris ludes akibat perang, berbondong-bondong rakyat Aceh baik yang miskin maupun yang kaya membelinya. Dengan penuh keikhlasan, rakyat Aceh menjual sawah, kebun, binatang peliharaan, aneka perhiasan emas dan perak, untuk ditukar dengan obligasi itu. Sejarah mencatat, rakyat Aceh sampai saat ini tidak pernah menerima pembayaran obligasi ini atau pun menagihnya dari pemerintah Jakarta.

Ketika pusat pemerintahan RI di Yogyakarta jatuh dan Bung Karno-Bung Hatta ditawan Belanda, maka hubungan antara Republik Indonesia dengan dunia internasional terputus. Suara RRI Yogyakarta yang selama ini menyiarkan gegap-gempita perjuangan mempertahankan kemerdekaan ke dunia dibungkam Belanda. Di saat yang genting ini, peran penting RRI Yogyakarta dengan cepat diambil-alih oleh RRI Kutaraja (Banda Aceh). Dari Kutaraja inilah kaum republik melawan propaganda Belanda yang disiarkan lewat corong stasiun radio di Medan dan Jakarta.

Lewat dua corong radio yang dikuasainya, Belanda dengan amat gencar melancarkan perang urat syaraf dan propaganda ke seluruh dunia bahwa apa yang dinamakan sebagai Republik Indonesia sebenarnya tidak pernah terbentuk, dan apa yang dinamakan perlawanan rakyat dan tentara Indonesia hanyalah perlawanan gerombolan pengacau bersenjata yang sama sekali tidak terorganisir. Para pemimpin pergerakan Indonesia amat gusar dengan propaganda Belanda ini. Namun mereka juga paham bahwa republik hanya punya satu buah pemancar radio di Kutaraja. Jelas ini tidak seimbang melawan propaganda Belanda.

Untuk itu maka para pemimpin pergerakan rakyat Aceh berinisiatif untuk membangun satu lagi pemancar radio dengan jangkauan sinyal yang jauh lebih kuat. Akhirnya setelah berhasil menembus blokade Belanda di Selat Malaka dengan mempergunakan speedboat, sebuah pemancar radio berkekuatan satu kilowatt berhasil diselundupkan ke Aceh dari Malaya. Pemancar ini diserahkan di bawah pengawasan Tentara Divisi X pimpinan Kolonel Husin Yusuf.

Awalnya pemancar baru ini ditempatkan di Krueng Simpo, lebih kurang 20 kilometer dari Bireun arah ke Takengon, Aceh Tengah, namun atas perintah Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Teungku Muhamad Daud Beureueh, pemancar itu dipindahkan ke Cot Goh, tidak jauh dari Banda Aceh. Namun karena Belanda yang agaknya terusik dengan siaran radio ini sering membombardir wilayah sekitarnya, maka pemancar ini pun dipindahkan lagi ke tempat yang dinilai lebih aman yang disebut Rimba Raya, sekitar 62 kilometer dari Bireun ke arah Takengon.

Inilah Radio Rimba Raya dengan signal calling 19,15 dan 16 meter. Mengudara tiap hari pukul 17.00 wib hingga subuh dengan mempergunakan bahasa Indonesia, Inggris, Cina, Belanda, Arab, dan Urdu.

Selain itu, dibentuk pula PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang awalnya berkedudukan di daerah pegunungan Bukittinggi, Sumatera Barat, tetapi karena keamanannya dianggap kurang kondusif maka dipindahkan ke Banda Aceh. Staf Angkatan Laut dan Udara juga bermarkas di tempat yang sama.

Yang tidak diketahui khalayak luas, semua pengeluaran dan dana operasionil PDRI, Staf Angkatan Laut, dan Staf Angkatan Udara, seluruhnya ditanggung oleh rakyat Aceh. Bahkan misi diplomasi Dr. Soedarsono ke India dan L. N. Palar di markas besar PBB di New York, AS, dana operasional perwakilan RI di Penang dan Singapura, ongkos pengeluaran duta keliling RI Haji Agus Salim dan biaya konferensi Asia di New Delhi, India, seluruhnya juga ditanggung oleh rakyat Aceh. Semua itu dilakukan rakyat Aceh dengan ikhlas karena tahu bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan termasuk amalan jihad fisabililah yang sangat tinggi nilai pahalanya.

Property Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-18

Belum cukup dengan segala pengorbanan itu semua, rakyat Aceh juga dengan ikhlas membeli dua buah pesawat terbang untuk dihibahkan kepada pemerintah pusat. Pembelian pesawat ini memakai mata uang dollar yang diperoleh dari hasil sumbangan rakyat Aceh.

Para perempuan Aceh melepas cincin, kalung, anting, dan segala perhiasan emas peraknya yang kemudian dikumpulkan untuk ditukar dengan uang. Uang itulah yang digunakan untuk membeli pesawat yang diberi nama Seulawah yang berarti “Gunung Emas”.

Latar belakang pembelian dua pesawat ini sungguh-sungguh mengharukan. Pada bulan Juni 1948, Bung Karno berkunjung ke Aceh. Dalam suatu pertemuan di Hotel Aceh, 16 Juni 1948, Bung Karno berkata, “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk memperkuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dan pulau.” Hanya dalam hitungan jam setelah Bung Karno menyatakan hal itu, pengusaha-pengusaha Aceh yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) menggelar pertemuan khusus. Mereka sepakat rakyat Aceh akan bersatu mengumpulkan uang dan segala perhiasan emas perak untuk membeli pesawat.

Dalam waktu dua hari terkumpul dana sekitar 130.000 Straits Dollar (Dollar Singapura). Ketua Gasida, Muhammad Juned Yusuf, beserta beberapa anggota Panitia Dana Dakota pada tanggal 1 Agustus 1948 segera berangkat ke Singapura dengan membawa dana tersebut dan emas seberat dua kilogram. Semua itu diserahkan kepada Ketua Komisi Pembelian Pesawat Opsir Udara II Wiweko.

Setelah memakan waktu sekitar tiga bulan, sebuah pesawat Dakota tiba ke tanah air pada Oktober 1948. Pesawat tersebut diberi nomor registrasi RI-001 sebagai nomor pesawat khusus VIP. Inilah yang kemudian diberi nama Seulawah alias Gunung Emas. Sedang pesawat yang satunya tidak diketahui apa dan bagaimana keberadaannya hingga kini.[1]

Bulan November 1948, Bung Hatta berkeliling Sumatera setelah melalui Magelang, Yogyakarta, Jambi, Payakumbuh, dan Banda Aceh, lalu pulang kembali ke Yogya. Setelah melakukan penerbangan selama 50 jam terbang, maka pada 6 Desember 1948 Seulawah diterbangkan ke Calcuta, India, untuk menjalani pemeriksaan dan perawatan. Tanggal 20 Januari 1949, Seulawah selesai dirawat.

Namun karena situasi di tanah air tidak memungkinkan, maka atas seizin pemerintah Burma, Seulawah diizinkan mendarat di Ranggon dan di negeri ini Seulawah melayani penerbangan sipil lebih kurang satu setengah tahun lamanya untuk menghimpun dana perjuangan bagi Republik Indonesia. Pada 2 Agustus 1950 Seulawah tiba kembali ke tanah air melewati rute Ranggon, Bangkok, Medan, dan mendarat di Bandung sehari setelahnya. Seulawah inilah cikal bakal perusahaan penerbangan niaga Indonesia pertama yang kemudian menjelma menjadi Garuda Indonesian Airways.

Saat Yogyakarta dikembalikan kepada republik, pemerintah RI sama sekali tidak punya uang untuk menggerakkan roda pemerintahannya. Dari Aceh, lagi-lagi, rakyatnya menggalang dana yang segera dialirkan ke Yogyakarta. Berbagai sumbangan berupa uang, alat tulis, alat-alat kantor seperti mesin tik dan sebagainya, serta obat-obatan, mengalir dari Aceh ke Yogya.

Bahkan rakyat Aceh kala itu menyumbangkan emas batangan seberat 5 kilogram kepada pemerintah pusat. Yang terakhir ini pun menguap entah kemana. Rakyat Aceh juga sangat prihatin dengan kondisi kesehatan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dikenal sebagai panglima yang sholih dan taat agama, sebab itu dari Aceh dikirimkan 40 botol obat suntik streptomisin guna mengobati penyakit paru-paru beliau.[2]

(Bersambung)

————————————
Artikel ini bekerjasama dengan Eramuslim Digest:Resensi Buku : Jejak Berdarah Yahudi Sepanjang Sejarah, Eramuslim Digest

[1] Sejarah Perjuangan Indonesia Airways.

[2] Surat Panglima Besar Jenderal Sudirman kepada dr. Mahyudin, Kepala Rumah Sakit Umum Kutaraja, tertanggal 22 September 1949.

Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-17

Property Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-17

Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-17 Setelah bertekuk-lutut kepada Sekutu, Jakarta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, tepat di hari Jum’at bulan Ramadhan. Berita proklamasi ini, seperti daerah lainnya di Nusantara, baru diterima beberapa hari kemudian dengan cara-cara yang berbeda.

Di Aceh, menurut penuturan Sjamaun Gaharu, berita penting tersebut masuk ke Aceh lewat berbagai cara, antara lain didapat dari hasil monitoring yang dilakukan oleh pegawai-pegawai kantor pos, penerangan, dan jawatan radio serta penerimaan radio gelap. Kepala Kantor Pos Kutaraja, lebih dikenal dengan sebutan Pak Ahmad Pos, merupakan orang pertama di Aceh yang mendengar hal ini. Ia lalu meneruskan kabar penting ini ke Teuku Nyak Arif, Teuku Ahmad Jeunib, dan Teuku Abdul Hamid. Ini terjadi pada tanggal 22 Agustus 1945.

Pada 23 Agustus 1945, di kantor Teuku Nyak Arif telah terkumpul 56 tokoh masyarakat Aceh. Teuku Nyak Arif memaparkan bahwa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya di Jakarta, 17 Agustus 1945. Seluruh ruangan hening ketika mendengar Indonesia telah merdeka.

Sesaat kemudian, Dr. Mahyuddin berbicara, “Siapa yang setuju menyokong kemerdekaan Indonesia, agar bersumpah setia dengan syarat al-Qur’an diletakkan di atas kepalanya sendiri oleh tangannya sendiri.” Pertemuan bubar dengan janji keesokan harinya bertemu lagi di tempat yang sama untuk mengangkat sumpah setia.

Esoknya, hanya 17 tokoh Aceh yang hadir. Pukul 09.00 wib lebih sedikit, ketujuhbelas orang itu berdiri tegak di tengah ruangan, berbaris dua. Suasana hening. Sebuah al-Qur’an diletakkan berdampingan dengan bendera merah putih berukuran 2 x 3 meter yang dijahit semalam oleh isteri Teuku Nyak Arif.

Orang pertama yang berbaiat adalah Teuku Nyak Arif sendiri. Dengan suara lantang ia maju ke depan, mengambil al-Qur’an dengan tangan kanan dan diletakkan di atas kepalanya sendiri sembari berkata lantang, “Demi Allah, Wallah, Billah, saya bersumpah setia untuk membela kemerdekaan bangsa Indonesia, sampai titik darah saya yang terakhir!” Ke-16 orang lainnya pun ikut berbaiat secara bergiliran.

Setelah itu, mereka semua beranjak ke halaman kantor untuk mengibarkan merah putih. Rombongan lantas berjalan ke kantor Shu-chokan di dekat pusara Sultan Iskandar Muda dan Sultan Aceh lainnya untuk menaikkan bendera merah putih. Setelah itu, Teuku Nyak Arif memerintahkan agar sang dwiwarna dinaikkan di seluruh kantor dan rumah.

Sebelum mereka kembali ke kantor, rombongan itu menyempatkan pergi ke Masjid Raya Baiturrahman untuk melakukan sujud syukur pada Allah atas rahmat dan berkat-Nya pada bangsa ini hingga bisa menggapai kemerdekaan. Setelah hari itu, rakyat Aceh dengan gegap-gempita menyambut kemerdekaan ini dengan melakukan sujud syukur kehadirat Allah SWT.

Dalam kacamata penyebaran salib, Portugis dan Belanda jelas mengalami kegagalan besar. Potugis tidak pernah mampu mendaratkan kaki ke tanah Aceh. Sedang Belanda, sejak mendarat di Aceh tahun 1873 hingga terusir dari Aceh 69 tahun kemudian, hanya berhasil membangun satu buah gereja kecil di Banda Aceh, itu pun di dalam kompleks markas pasukannya di tepi Krueng Aceh.

Dengan demikian, dalam peta penyebaran salib dunia, wilayah Aceh masih saja ditandai dengan spidol hitam yang sangat tebal. Aceh masih menjadi wilayah yang sangat gelap bagi upaya misi kristenisasi. Berpuluh tahun kemudian kelak terbukti, Aceh masih menjadi salah satu target utama penyebaran salib dunia.

Tak Bisa Dikalahkan Maka Dilemahkan

Property Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-17

Berhasil memukul mundur armada salib Portugis yang begitu kuat dan tidak pernah takluk pada tentara kafir Belanda, bahkan Aceh tercatat sebagai daerah pertama di Nusantara yang pernah memukul mundur pasukan Belanda dan menewaskan empat petinggi militernya, tentu suatu prestasi membanggakan. Padahal Belanda telah menurunkan tentara terbaiknya. Tapi di medan pertempuran, tentara elit Belanda ini banyak yang mati konyol disabet rencong Aceh. Islam sungguh-sungguh telah menjadi satu-satunya faktor kekuatan Muslim Aceh, hingga seorang Snouck Hurgronje dalam berbagai tulisannya dengan sinis menyebut Mujahidin Aceh sebagai “gerombolan fanatik Islam”.

Menghadapi balatentara Jepang yang dengan ganas mampu melumat pasukan Sekutu di Pasifik dan Malaya, dengan cerdik rakyat Aceh melancarkan strategi rangkul dan pukul. Beberapa saat sebelum Jepang mendarat di pesisir Banda Aceh, para Mujahidin Aceh melakukan sabotase dan penyerangan besar-besaran terhadap berbagai kepentingan Belanda hingga Belanda banyak yang kabur meninggalkan kota dan markasnya. Tak heran ketika Dai Nippon mendarat di pantai Aceh, mereka bisa mendarat dengan aman dan nyaman karena tidak ada lagi perlawanan dari tentara Belanda.

Kemesraan rakyat Aceh dengan tentara pendudukan Jepang tidak berlangsung lama. Sikap Jepang yang begitu angkuh dan kejam, terutama tidak menghormati Islam sebagai identitas Aceh, membuat murka rakyat Aceh.

Di beberapa tempat timbul pemberontakan, seperti yang terjadi di Bayu (kawedanan Lhok Seumawe) yang dilancarkan oleh Teungku Abdul Djalil dan pengikutnya, lalu juga pecah pemberontakan di Pandraih yang masuk dalam Kawedanan Bireun yang dilakukan oleh rakyat, dan sebagainya. Seperti halnya Belanda, tentara Jepang juga tidak pernah aman memasuki hutan belukar dan daerah-daerah pegunungan Aceh karena sering dihadang rakyat setempat.

PUSA yang pada awalnya menyerukan rakyat Aceh agar mau bekerjasama dengan Jepang juga merasa sangat kecewa. Janji Jepang untuk menyingkirkan kaum feodal kaki tangan Belanda (uleebalang) ternyata tidak ditepati. Akhirnya PUSA mengancam akan menarik dukungan pada Jepang dan memilih untuk mengambil posisi konfrontasi.

Menghadapi tekanan PUSA tentu membuat petinggi Jepang di Aceh was-was. Jepang amat sadar, PUSA memiliki pengaruh dahsyat terhadap rakyat Aceh yang sangat menghormati para ulamanya. Akhirnya Jepang melunak. Atas inisiatif Kepala Kehakiman Pemerintahan Bala Tentara Jepang di Aceh, Aoki Eigoro, Jepang akhirnya membentuk pengadilan yang bebas sama sekali dari intervensi uleebalang.

Di samping itu dibentuk pula Pengadilan Agama yang merupakan dasar Pengadilan Agama yang ada sekarang ini. Keputusan ini disambut rakyat Aceh dengan gembira. Sebab bagaimana pun juga, pembentukan pengadilan yang baru ini merupakan pencabutan kuku uleebalang yang sudah ratusan tahun mencengkeram leher rakyat Aceh.[1]

Di depan sudah disinggung betapa bahagianya rakyat Aceh menyambut proklamasi kemerdekaan RI. Proklamasi itu dilakukan dalam momentum yang amat baik dari kacamata orang Aceh: hari Jum’at bulan Ramadhan pula, ini dianggap oleh rakyat Aceh sebagai pertanda bahwa kemerdekaan rakyat Indonesia diberkahi oleh Allah SWT. Semangat keislaman membuat rakyat Aceh merasa satu bagian dengan saudara-saudaranya sesama Muslim di Jawa dan daerah lainnya. Euphoria pun bermunculan di tengah rakyat Aceh.

Ada yang mendesak agar pemimpin-pemimpin Aceh memproklamasikan berdirinya kembali Kesultanan Aceh Darussalam atau secepatnya Aceh memberlakukan hukum Islam di seluruh wilayahnya. Berbagai tuntutan rakyat Aceh ini disikapi dengan arif oleh para ulama setempat. Para ulama meminta rakyat Aceh bersabar menunggu sikap baik dan perkembangan Jakarta.

Di sisi lain, Belanda ternyata membonceng tentara Sekutu yang hendak mengambil-alih wilayah penduduk Jepang. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.

Oktober 1945 para ulama di Jawa Timur mengumandangkan Resolusi Jihad yang akhirnya meletuskan perang besar yang dikenal sekarang sebagai Pertempuran Surabaya, 10 November 1945. Lewat radio rakyat Aceh mendengar saudara-saudaranya di Surabaya juga mengumandangkan jihad, ini semakin memperteguh keyakinan mereka bahwa Aceh merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Pertempuran Surabaya segera saja disusul oleh jihad-jihad lain di Kalimantan, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya di seluruh Nusantara. Di Ambarawa, pasukan Inggris yang baru saja mabuk kemenangan Perang Dunia II berhasil dipukul mundur oleh laskar santri yang dipimpin para kiai dan ustadz. Takbir berkumandang memenuhi langit Indonesia.

Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah kemerdekaan juga bagi rakyat Aceh. Sebab itu, seruan jihad fisabilillah kembali dikumandangkan. Bagi Muslim Aceh, semua tentara kafir apakah itu bernama Portugis, Belanda, Jepang, Inggris, dan Amerika, semuanya sama: musuh-musuh Allah hukumnya fardhu ‘ain diperangi hingga Islam tegak atau syahid.

(Bersambung)

————————–
Artikel ini bekerjasama dengan Eramuslim Digest: Resensi Buku: Jejak Berdarah Yahudi Sepanjang Sejarah, Eramuslim Digest

[1] M. Nur El Ibrahimy; ibid, hal.40.

di Tulis Oleh Reporter: Rizki Ridyasmara



[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News Eramuslim]

Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-16

Property Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-16
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-16 Sejak mendarat pertama kali di Aceh tahun 1873 dan menduduki Banda Aceh, Belanda mengalami banyak sekali serangan-serangan besar yang dilakukan barisan mujahidin Aceh. Beberapa di antaranya terjadi tahun 1925 hingga 1927 di Bakongan dan tahun 1933 di Lhong.

Serangan terbesar Muslim Aceh terhadap kape Belanda terjadi beberapa saat setelah perang Pasifik pecah, sehingga ketika balatentara Jepang mendarat di Aceh, mereka tidak menemui perlawanan lagi dari tentara Belanda yang sudah terlebih dahulu kabur dari pesisir dan kota-kota besar untuk menyelamatkan diri dari serangan para mujahidin.

Kedahsyatan serangan dan pemberontakan Muslim Aceh terhadap Belanda menjelang kedatangan Jepang dipaparkan dengan cukup rinci oleh majalah Star Weekly terbitan tahun 1953.[1]

Inilah kutipannya:

“Desember 1941 Nederlandsch Indie menyatakan perang dengan Jepang. Keadaan di Aceh masih tetap aman. Tapi diam-diam orang Aceh yang berada di Malaka (yang sementara itu sudah mulai diduduki Jepang) mendarat di pantai Aceh sebagai pengungsi. Padahal di antara mereka terdapat anggota Kolone V yang bekerja bersama dengan Jepang dan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) untuk melawan Belanda. Semua ini berjalan secara rahasia.

Desember dan Januari lewat seperti biasa. Tapi tanggal 19-20 Februari 1942, akhirnya meletuslah perasaan anti Belanda yang demikian lama tertahan itu. Beberapa malam kemudian Controleur Tiggelman di kota Seulimeum pagi jam 3.30 dibunuh mati; isterinya hanya bisa melarikan diri berkat pertolongan seorang Aceh pegawai Controleur itu setelah menyamar sebagai wanita Aceh.
Pembunuhan ini segera dikuti oleh sabotase. Kawat telepon dan kawat telegraf diputuskan; jalan kereta api dibongkar, (perbuatan sabotase sekarang ini dilakukan oleh gerombolan pemberontak); stoomwals ditaruh di tengah-tengah jalan sebagai penghalang; jembatan diblokir, pohon di pinggir jalan ditebang dan dijatuhkan di jalan raya. Semua ini terjadi di sekitar Seulimeum. Juga sekarang nama ini seringkali terdengar.
Tidak kebetulan pemberontakan PUSA terhadap Belanda itu dimulai di Seulimeum. Sebab kota itu yang letaknya di pegunungan, sedari dulu terkenal sebagai tempat kelahiran Ulama-ulama yang terkemuka, yang mempunyai banyak sekolah dan murid di sini. “Fanatik, benci akan orang asing,” demikian tulisan DR. C. Snouck Hurgronje tentang penduduk Seulimeum ini dalam tahun 1894.
Dan ketika dalam tahun 1937 seorang Controleur Belanda omong-omong dengan seorang tua, penduduk Seulimeum itu tentang kesudahan Perang Aceh dengan Belanda (1873-1904), Controleur itu mendapat jawaban: Kita bukan “talo” (=takluk), cuma “dame” (=kedua belah pihak setuju mengakhiri perang itu).
Perasaan dan keyakinan bukan “talo” itu yang dipendam demikian lamanya, sekarang bisa meletus keluar terhadap kafir Belanda. Dengan mendapat bantuan para Ulama yang tua, maka terjadilah gerakan pemberontakan secara missal ini. Tapi bahwa sesudah kafir Belanda itu diusir, nanti akan datang kekuasaan Jepang. Juga kafir, tidak dipikirkan lebih jauh. Primair kekuasaan Belanda harus disingkirkan. Kekuasaan Jepang ada urusan secondair.
Di malam 23-24 Februari 1942 seorang pegawai Belanda dari jawatan kereta api (Graaf U. Bernstorff von Sperling) mati dibunuh. Di malam 7-8 Maret 1942 kembali terjadi gelombang besar sabotase pada hubungan lalu lintas di seluruh Aceh, yang dilakukan oleh angggota organisasi Fujiwara, yaitu orang-orang Aceh Kolone V di bawah pimpinan organisasi Jepang Fujiwara Kikan dengan siapa PUSA bekerja bersama dengan rapat sekali.
Poliklinik di Indrapuri dirampok. Assisten Resident Van den Berg di Sigli mati dibunuh. Kotanya dirampok. Tanggal 8 Maret tibalah warta radio yang mengejutkan, bahwa tentara KNIL di Jawa telah menyerah pada Jepang, tapi di Aceh sendiri tentara Nippon belum mendarat. Itu baru terjadi di malam 11-12 Maret. DR. Piekaar yang waktu itu berada di Kutaraja melukiskan malam itu sebagai malam penuh siksaan batin (een nacht vol verschrikking) sebab selain kemungkinan pendaratan Nippon, tiap saat ditakuti serangan orang Aceh secara mendadak di waktu malam.
Dalam keadaan begitu, pendaratan Jepang, oleh pihak Belanda malah dirasakan hampir sebagai berakhirnya penderitaan (welhaast al seen verlossing).”

Ketua PB PUSA Teungku Muhammad Daud Beureueh saat itu banyak melakukan pengkoordinasian sesama pemimpin dan ulama Aceh untuk mengatur strategi mengusir Belanda dari Aceh dan menghadapi kedatangan Jepang.

Property Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-16
Bulan Desember 1941 ketika perang Pasifik pecah, di sebuah rumah yang terpencil dan aman, Daud Beureueh mengumpulkan Teungku Abdul Wahab Seulimeum, Kepala Cabang PUSA Aceh Raya Teuku Nyak Arif, Panglima Sagi XXVI Mukim, Teuku M. Ali Panglima Polem, Panglima Sagi XXII Mukim, dan Teuku Ahmad, seorang Uleebalang di Jeunieb (Samalanga).

Di akhir pertemuan, mereka semua meneguhkan janji dan bersumpah setia kepada agama Islam, kepada bangsa dan tanah air, dan akan bekerjasama dengan kerajaan Dai Nippon melawan Belanda, dan menyusun pemberontakan atas nama PUSA.

Dari Sigli, PUSA menyebarkan propaganda menyerang penjajah Belanda dan menyerukan rakyat Aceh agar bersedia bekerjasama dengan Jepang dalam melawan Belanda. Belanda sendiri sungguh-sungguh paham bahwa Daud Beureueh berada di belakang semua aksi ini. Namun walau pun Belanda sudah menyebarkan mata-mata ke seluruh penjuru Aceh untuk mengetahui keberadaan Teungku Daud Beureueh ini, upaya Belanda ternyata sia-sia belaka. Daud Beureh di kemudian hari menuturkan bahwa dirinya telah disembunyikan oleh para pejuang Aceh di sebuah rumah di Kampung Metareuem yang dijadikan pusat komando.

Terhadap Jepang, PUSA sangat sadar bahwa kerjasama ini hanya dilakukan dalam hal mengusir Belanda dan menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Kala itu, Inggris yang terkenal kuat dalam persenjataan dan tentaranya, tidak mampu menghadang serbuan balatentara Jepang hingga Malaya dan Singapura jatuh, apalagi Belanda.

Sebab itu PUSA memanfaatkan Jepang. Untuk melawan Jepang bukan hal yang mustahil, namun diyakini akan mengakibatkan banjir darah dan korban yang terlalu banyak di kalangan rakyat Aceh yang sudah lama menderita. Sebab itu, PUSA mengambil keputusan yang bersifat sementara untuk bekerjasama dengan Jepang.

Kecurigaan PUSA terhadap Jepang ternyata terbukti. Walau di awal Jepang berjanji akan mengusir kaum feodal kaki tangan Belanda, namun setelah berada di Aceh, Jepang malah banyak mengambil para feodal kaki tangan Belanda ini menjadi aparat birokrat. Bukan itu saja. Sikap tentara Jepang yang sombong dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa hormat terhadap agama Islam membuat rakyat Aceh muak dan geram.

Perilaku tentara Jepang yang amat tidak islami dipaparkan oleh Brigjen (Purn) Sjamaun Gaharu. Putera Aceh ini menulis, “Rakyat Aceh pada mulanya berharap Jepang adalah pembela rakyat Aceh dan pelindung agama Islam. Tapi baru beberapa hari mereka sampai , harapan masyarakat Aceh pun sirna. Serdadu Jepang yang hanya memakai cawat berjalan di mana-mana. Hal ini bertentangan dengan adat Aceh. Orang Jepang yang menganut agama Shinto memakan babi, dan mereka melakukannya di tempat terbuka, seolah-olah dipamerkan. Akibatnya rakyat Aceh benci pada mereka.

Setiap pagi dilaksanakan upacara Seikere atau menunduk ke arah matahari terbit dengan cara rukuk. Tentu saja cara ini bertentangan dengan ajaran agama Islam. Akibatnya pada tanggal 10-11 November 1942, terjadilah pemberontakan rakyat Aceh di bawah pimpinan Teungku Abdul Jalil di Bayu, Aceh Utara… Mula-mula Jepang masuk ke Aceh, kita diperbolehkan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengibarkan bendera Merah Putih. Namun tujuh belas hari kemudian dua hal itu terlarang.”[2]

Seperti juga di daerah-daerah lain di Nusantara, rakyat Aceh selama pendudukan Jepang merasakan penderitaan yang amat sangat. Ribuan romusha yang terdiri dari rakyat Aceh dan juga orang-orang yang didatangakn dari luar Aceh dan bahkan dari Jawa bekerja siang malam membangun lapangan terbang, membuka jalan menerabas hutan belukar, dan sebagainya. Ribuan orang mati kelelahan, terkena malaria, dan juga tidak tahan menerima siksaan Jepang yang kelewat batas. Untunglah Jepang tidak terlalu lama berkuasa.

(Bersambung)

————————–

[1]Star Weekly No.407, 17 Oktober 1953 tahun ke VIII yang didasarkan atas buku DR. A.J. Piekaar berjudul “Atjeh en de Oorlog met Japan”, dan dikutip kembali oleh M. Nur El Ibrahimy dalam buku “Teungku Muhammad Daud Beureueh”; Gunung Agung; Jakarta: cet.2; 1986. Hal.31-32.
[2] Ramadhan KH dan Hamid Jabbar; Sjamaun Gaharu, Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal; Pustaka Sinar Harapan; Cet.1; 1995; hal.34.


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News Eramuslim]

Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-15

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-15. (www.suriya-aceh.eu.org)-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-15 Pada tahun 1903, tentara Belanda berhasil menangkap dua isteri beserta anak-anak dari Sultan Aceh Muhammad Dawud. Sultan pun kemudian tertangkap. Tahun 1906, enam tahun setelah rekomendasi Snouck Hurgronje dijalankan Van Heutz, maka kesultanan Aceh Darussalam pun jatuh ke tangan Belanda.

Istana Kesultanan Aceh yang begitu megah kemudian dihancurkan Belanda dan diganti dengan bangunan baru yang di kemudian hari dikenal sebagai Pendopo Gubernur Daerah Istimewa Aceh.

Walau Kesultanan Aceh telah jatuh ke tangan Belanda, namun itu tidak berarti Belanda sungguh-sungguh mutlak menguasai seluruh wilayah Aceh Darussalam. Pada kenyataannya Belanda hanya berkuasa di kota-kota besar, jalan-jalan utama, pesisir pantai, dan pelabuhan. Di rerimbunan belantara hutan Aceh dan di pegunungan, Belanda tidak mampu menaklukkan rakyat Aceh yang begitu gagah berani hingga sampai Belanda hengkang dari Aceh di tahun 1942, tidak seluruh wilayah Aceh berhasil ditaklukkan Belanda. Peperangan terus berlangsung dengan gencar. Aceh tidak pernah takluk kepada Belanda.

Ini diperkuat oleh kesaksian putera Aceh sendiri, Dr. MR. T. H. Mohammad Hasan yang dalam memoirnya menulis,

“…perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah kolonial selalu terus berlangsung. Oleh karena itu, ada yang berpendapat karena kuatnya perlawanan rakyat Aceh, maka Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada penjajah dalam bentuk apa pun. Oleh karena itu dari tahun 1873 sampai berakhirnya kekuasaan Belanda di Tanah air (1942), antara Aceh dan Belanda tetap dalam keadaan perang.”[1]

Indonesianis asal Amerika Serikat, R. William Liddle, dengan penuh kekaguman menulis tentang Aceh.

“Dan yang barangkali paling gemilang adalah perlawanannya terhadap tentara Belanda yang mampu bertahan lebih dari 30 tahun, dan sempat merenggut nyawa tidak kurang dari empat perwira tinggi musuh…,” tulis Liddle.[2]

Entah mengapa Liddle mematok angka 30 tahun perjuangan rakyat Aceh, yang berarti hanya sedari tahun 1912. Padahal perang kolonial rakyat Aceh terhadap Belanda dimulai pada tahun 1873 dan terus bergejolak hingga Belanda hengkang dari Aceh pada tahun 1942 menjelang Jepang datang.

Angka yang tepat untuk menggambarkan lamanya Prang Sabil di Aceh adalah dari tahun 1873 hingga 1942, yaitu selama hampir 70 tahun. Yang juga patut diketahui, Prang Sabil selama itu di Aceh terjadi karena rakyat Aceh semata-mata berdasarkannya pada jihad fisabilillah, bukan karena ideologi-ideologi lain.

Tentang Snouck Hurgronje, H. Ridwan Saidi punya catatan tersendiri. Budayawan Betawi yang juga pemerhati sejarah Yahudi ini pernah mendatangi makam Snouck di Leiden, Belanda, tahun 1989 bersama intelektual Belanda Dr. Karel Steenbreenk dan Dr. Martin Van Bruinesen, dan menemui puteri Snouck Hurgronje satu-satunya-yang diakui Hurgronje-bernama Christien Maria Otter.

Kunjungannya ke Belanda ini menorehkan keyakinan yang sangat dalam pada dirinya bahwa Snouck Hurgronje merupakan seorang orientalis Belanda yang mempraktekkan strategi berpura-pura masuk Islam (Izharul Islam) untuk menangguk keuntungan pribadinya, walau Snouck sendiri pernah mengawini sejumlah perempuan Muslim secara hukum Islam. “Snouck Hurgronje tidak dimakamkan secara Islam,” demikian Ridwan.[3]

Salah satu rekomendasi terpenting Snouck Hurgronje kepada pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi perlawanan umat Islam adalah strategi adu domba antara kaum agama dengan kaum bangsawan atau kaum feodal (devide et impera). Terbukti kelak, strategi kuno tersebut ternyata sampai hari ini masih saja dipakai oleh bangsa Barat (Christendom) untuk menjajah bumi Islam, seperti halnya di Irak ketika Amerika mengadu-domba antara kaum Sunni dengan kaum Syiah.

Sepuluh Pastor Yesuit Untuk Nusantara

Ada perkembangan baru di Hindia Belanda terkait penyebaran salib yang tidak boleh diabaikan. Dua tahun setelah Snouck Hurgronje lahir di Oosterhout, Belanda, ribuan mil jauhnya di tanah jajahan bernama Hindia Belanda (Nederlandsche Indie), tepatnya tahun 1859, kaum Yesuit (Serikat Jesuit) mengambil-alih misi penyebaran salib untuk seluruh Nusantara.

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-15. (www.suriya-aceh.eu.org)-"
Sejarahwan Belanda J. Wils menulis,

“…kaum Yesuit pada tahun 1859 mengambil-alih misi di Indonesia. Tugas yang dibebankan pada mereka sangat besar. Hanya ada sepuluh pastor bagi satu tempat yang terbentang dari Aceh hingga Timor (enampuluh kali negara Belanda). Tetapi mereka biarpun begitu, dapat bertahan.”[4]

Tahun 1902, 53 tahun setelah itu, dari jumlah awal sepuluh pastor kini telah bertambah menjadi 54 pastor dan telah didirikan lima konggregasi bruder dan suster bagi pemeliharaan pengajaran (Ursulin, Bruder dari Aloysius Kudus, Susters Fransiskarnes, dan sebagainya).

Setelah Banda Aceh “diduduki” Belanda tahun 1904, maka Belanda pun mulai membangun berbagai sarana penunjang keberadaannya seperti asrama bagi pasukannya. Di tepi Krueng (Sungai) Aceh, nyaris berhadap-hadapan dengan Masjid Raya Baiturrahman, Belanda mendirikan sebuah asrama besar bagi pasukannya.

Di tahun 1926, di dalam asrama itu Belanda membangun sebuah gereja yang aktivitasnya berada di bawah Ordo Katolik Hati Kudus. Pada hari Minggu, 26 September 1926, diselenggarakan misa pertamanya. Dengan demikian, di hari itu resmilah penggunaan gereja pertama di Bumi Serambi Mekkah itu.

Gereja Hati Kudus tidak terlalu besar. Dindingnya berwarna krem dengan ornamen kaca warna-warni dan keramik empat warna. Gereja ini dulunya merupakan Kapel Hari Kudus yang dibangun sekitar tahun 1885 dengan Pastor Henricus Verbraak, SJ, sebagai pastor pertamanya. Verbraak merupakan seorang pastor tentara Belanda dan kapel tersebut dipergunakan sebagai tempat beribadah para tentara Belanda.

Namun seiring berjalannya waktu, yang beribadah ke kapel tersebut bukan hanya tentara Belanda, tetapi juga sejumlah orang asing yang tengah berada di Aceh seperti para pedagang Eropa dan Cina.

Setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, asrama tentara Belanda di tepian Krueng Aceh itu dijadikan markas tentara Republik Indonesia. Walau demikian, gereja itu tetap berfungsi sebagaimana aslinya. Sekarang, gereja tersebut berada di dalam Markas Komando Daerah Militer Iskandar Muda.

Berdirinya sebuah gereja di Aceh tidak terlepas dari dikukuhkannya kaum Yesuit menjadi pengemban misi utama di seluruh Indonesia oleh pemerintah Belanda. Sejarah dunia memang mencatat, kaum Yesuit merupakan sebuah kelompok dalam agama Katolik yang sangat militan di dalam mengemban tugas keimanannya. 

Di saat kelompok lain dalam agama Katolik sudah menyerah dalam mengemban tugas-tugas keagamaannya, maka biasanya barulah hal tersebut diserahkan kepada kaum Yesuit untuk dilaksanakan.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kaum Yesuit (SJ, Serikat Jesuit) merupakan “special forces”nya agama Katolik. Sama halnya dengan Spetsnaz-nya tentara Rusia, dan Delta Force-nya tentara Amerika Serikat.

Walau berada di wilayah yang terkenal sebagai Serambi Mekkah-nya Indonesia, Gereja Hati Kudus dan para jemaatnya berpuluh tahun tidak pernah mengalami gangguan dari Muslim Aceh. Inilah sebuah bukti tak terbantahkan betapa umat Islam sejak dulu telah melaksanakan apa yang kini disebut sebagai toleransi antar umat beragama. Sangat beda dengan apa yang pernah dan masih dialami umat Islam yang berada di wilayah Timor Timur (sekarang Timor Lorosae) yang dihuni mayoritas umat Katolik.

Sepanjang tahun, umat Islam di Timor Lorosae senantiasa berada dalam ketakutan karena banyaknya teror dan gangguan fisik yang terjadi menimpanya. Bahkan warga asli Timor Lorosae pernah beberapa kali menyerang masjid di sana dan membakarnya. 

Setelah lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah Timor Lorosae membiarkan terjadinya upaya pengusiran terhadap ratusan umat Islam setempat agar keluar dari wilayah yang mereka sebut sebagai Tanah Kristus.

Sampai detik ini persoalan pengusiran ratusan umat Islam tersebut belum terselesaikan. Jika demikian, siapa yang sebenarnya harus belajar lagi makna toleransi kehidupan antar umat beragama?

(Bersambung)

———————

[1] DR. MR. T.H. Moehammad Hasan; ibid; hal. 9.
[2] R. William Liddle; “Let Aceh Be Aceh”; artikel yang dimuat di Majalah Tempo, 4 Juli 1987. Dikutip dari buku “Islam, Politik, dan Modernisasi”; SInar Harapan; cet.1; 1997; Jakarta: hal.241.
[3] Tulisan Ridwan Saidi tentang sosok Snouck Hurgronje bisa dilihat dalam buku “Fakta dan Data Yahudi di Indonesia, Dulu dan Kini” terbitan Khalifa (Divisi Pustaka al Kautsar); Jakarta; Cet. 1; 2006; hal. 93-108. Dalam tulisannya itu, Ridwan banyak memaparkan hasil penelitian sarjana Ahli Arab asal Belanda, DR. P. S. Van Koningsveld yang banyak membongkar kebohongan Snouck, termasuk berbagai plagiatisme Snouck dalam berbagai karyanya.
[4] J. Wils; ibid, hal. 360.

Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-14

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-14-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-14 Ketika Belanda menyerbu Aceh pertama kali, April 1873, Habib Abdurahman tengah berada di Mekkah bersama Nyak Abas, seorang pemilik kebun lada yang luas di Aceh. Mereka berdua ke Mekkah bersama dari Penang. Habib Abdurrahman lalu bergegas berangkat ke Konstantinopel, ibukota Turki Utsmani, dan tiba tanggal 27 April saat pasukan Belanda baru saja mundur dan kabur dengan kapal-kapal perang mereka.

Di Turki, Habib Abdurrahman menyampaikan pesan dari Sultan Mahmud bahwa sebagai bagian dari protektorat Turki Utsmani, Aceh seharusnya dibantu dalam menghadapi serangan kafir Belanda.

Hanya saja, kunjungannya kali ini bisa dikatakan gagal karena kondisi Turki sendiri sudah banyak berubah disebabkan rongrongan dan konspirasi dari kekuatan Yahudi. Menteri Kehakiman Midhat Pasha, tokoh reformasi Turki yang menjabat sebagai Menteri Kehakiman lalu Perdana Menteri, merupakan seorang pejabat yang paling berpengaruh di dalam pemerintahan Turki. Siapa Midhat Pasha?

“Midhat Pasha adalah tokoh yang mengepalai gerakan masonisme dan mengendalikan club-club masonisme di Turki. Midhat Pasha mendapat dukungan negara-negara Barat dan Timur dalam menjalankan program sekularisasi di Turki. Mereka menyebutnya sebagai Bapak Pembebasan.”[1]

Midhat Pasha jualah yang telah membunuh dua khalifah Turki sebelum Khalifah Abdul Hamid yang bertindak tegas terhadap Yahudi. Kedua Khalifah yang dibunuh Midhat Pasha adalah ayah dan paman Abdul Hamid sendiri.

Dihadapan Habib Abdurrahman, Midhat Pasha menunjukkan dukungan penuh atas Aceh, melebihi pejabat lainnya. Tapi di belakang, Midhat Pasha dengan aktif membuat satu kekuatan agar Turki melupakan Aceh. Dan langkah ini berhasil.

Sikap tidak kooperatif pemerintahan Turki membuat rakyatnya tidak puas. Rakyat Turki menginginkan agar Turki bisa berbuat sesuatu membantu Aceh yang tengah menghadapi serangan pihak kafir.

Reid mencatat, “Dalam suasana seperti ini, pers Konstantinopel mengulas dengan penuh antusiasme persoalan yang dikemukakan Habib Abdurrahman, sehingga nasib Aceh dengan cepat menjadi “la grande question du jour”, pokok pembicaraan utama.[2]

Basiret, suratkabar terkemuka di Turki yang paling banyak dibaca dan pendukung utama paham pan-Islam, menyerukan agar Turki mengirimkan kapal-kapal perangnya ke Sumatera.

Koran Jevaib juga menyerukan hal yang sama. Bahkan koran kuning La Turquie secara gencar terus mengemukakan alasan-alasan bahwa Turki wajib melindungi hak Aceh.[3]

Namun dunia Kristen juga tidak tinggal diam. Mereka beramai-ramai mengancam Turki agar tidak ikut campur dalam masalah Aceh. Jenderal Ignatiev dari Rusia dengan kasar mengatakan bahwa Habib Abdurrahman harus secepatnya diusir dari Turki.

“Jika Turki mulai campur tangan untuk kepentingan kaum Muslim Asia, maka kekuatan-kekuatan lain akan muncul untuk membela kaum Kristen di Turki, mengikuti pola tindakan yang diambil Rusia pada tahun 1853!” ancam Jenderal Ignatiev.[4] Ingris lewat Duta Besarnya Lord Granville juga mengatakan, “Kita tidak mendukung ide itu.”

Kegagalan misi Habib Abdurrahman di Turki disambut gembira oleh Dunia Kristen. Di Belanda, para pejabatnya menyambut hal ini dengan menggelar pesta syukuran. Namun ada satu hal yang dilupakan Belanda, misi Habib Abdurrahman dilihat dari dukungan rakyat Turki sebenarnya menuai hasil yang baik. Persoalan Aceh yang dibawa Habib Abdurrahman telah membangkitkan, sebelum tiba saatnya yang sebenarnya di bawah Sultan Abdul Hamid, gelombang perasaan pan-Islam di Ibukota Turki, dan memenangkan simpati orang-orang terbaik di Turki bagi Aceh.[5]

Rasa tidak puas rakyat Turki atas sikap pemerintahnya dilukiskan dengan amat baik dalam sebuah artikel di harian Basiret. Walau tahu bahwa pemerintah Turki sama sekali tidak membantu Aceh dalam hal yang nyata, hanya basi-basi politis, namun Basiret telah menulis bahwa pemerintah Kesultanan Turki telah memutuskan akan mengirim sebuah armada yang terdiri dari delapan kapal perang ke perairan Sumatera untuk mencegah serangan musuh atas Aceh, dan bahwa salah satu dari kapal perang ini akan ditempatkan untuk selamanya dekat Aceh.

Berita ini sebenarnya hanya didasarkan tidak lebih daripada harapan-harapan di pihak partai nasionalis. …dalam waktu tiga puluh enam jam pengumuman itu dinyatakan sebagai “fiksi yang bodoh” dan Basiret dibreidel karena pemberitaan itu. Tetapi sementara itu berita itu telah diulang oleh suratkabar Turki lainnya dan tersebar ke seluruh dunia melalui Reuter, seolah-olah berita itu otentik.[6]

Demikianlah, Aceh akhirnya sendirian menghadapi serbuan kedua Belanda. Sedang Belanda sebagai bagian dari Christendom negara-negara Kristen Eropa (Terra Biblica) - mendapatkan bantuan dari sekutunya.

Negara-negara Eropa melepas ribuan narapidana dan orang tahanannya dan kemudian dikirim ke Batavia untuk dijadikan tentara Belanda yang akan menyerang Aceh. Walau Belanda berhasil menduduki istana kerajaan Aceh, namun perang terus berjalan hingga Jepang datang di tahun 1942. Aceh tak pernah takluk pada Belanda.

Islam Politiekvan Snouck Hurgronje

Sebelum mengupas lebih jauh sepak terjang Christiaan Snouck Hurgronje dalam upayanya merancang strategi guna menundukkan umatan tauhid Muslim Aceh di bawah kekuasaan salib Hindia Belanda, maka ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu siapa sesungguhnya orientalis Belanda ini.

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-14-"
Christiaan Snouck Hurgronje lahir di Oosterhout, Belanda, 8 Februari 1857. Snouck merupakan anak keempat dari Pendeta J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria, puteri Pendeta D. Christiaan de Visser. Awalnya, perkawinan kedua orangtuanya itu didahului oleh hubungan kumpul kebo hingga oleh dikeluarkan dari komunitas Gereja Hervormd di Tholen (Zeeland) pada tanggal 3 Mei 1849.

Ketika itu ayah Snouck telah memiliki enam anak. Kedua orangtua Snouck baru menikah secara resmi tanggal 31 Januari 1855. Jadi, Snouck Hurgronje merupakan anak hasil kumpul kebo kedua orangtuanya.[7]

Tak lama setelah menikah secara resmi, setelah melalui proses panjang akhirnya kedua orangtua Snouck diterima kembali dalam komunitas Gereja Hervormd pada tanggal 13 Agustus 1856. Nama Christiaan Snouck Hurgronje merupakan nama gabungan dari nama kakeknya, Christiaan, dan nama ayahnya Snouck Hurgronje. Oleh kedua orangtuanya, Snouck Hurgronje dididik secara keras agar bisa menjadi pendeta guna menebus kesalahan yang telah diperbuat kedua orangtuanya.

Singkat cerita, Snouck mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda untuk melakukan penelitian tentang Islam di Aceh dengan tujuan mencari titik kelemahan Muslim Aceh agar Belanda bisa dengan mudah menaklukkannya.

Pada 8 Juli 1891 Snouck dikirim ke Aceh dan berpangkalan di Ulee-Lheue yang menjadi basis militer Belanda. Dibantu asistennya bernama Teungku Nurdin, Snouck mengumpulkan bahan-bahan penelitiannya mengenai keadaan obyektif politik dan kehidupan agama Islam di Aceh yang bersifat rahasia.

Laporan tersebut disampaikan pada pemerintah kolonial di Batavia pada tanggal 23 Mei 1892. Walau kelihatannya obyektif, namun kebencian Snouck terhadap Islam tergambar dengan jelas dalam laporannya tersebut (Atjeh Verslag). Point-point penting yang ditulisnya adalah:
  • Sultan Aceh sesungguhnya tidak berkuasa penuh atas daerah-daerah kekuasaannya, jadi perannya bisa diabaikan. 
  • Kelompok-kelompok perlawanan rakyat Aceh merupakan gerombolan-gerombolan yang dipimpin oleh pemimpin agama (ulama) yang menghasut mereka untuk mengobarkan perang suci. 
  • Uang untuk biaya peperangan diperas para pemimpinnya dari para penduduk. 
  • Penguasa sesungguhnya adalah para uleubalang atau raja-raja lokal yang setelah gerombolan yang dipimpin ulama itu dapat ditumpas, maka golongan uleubalang ini bisa dibina menjadi sekutu Belanda yang setia. 
  • Untuk menghentikan perlawanan gerombolan Islam fanatik ini hanya bisa dilakukan dengan pengejaran dan penghancuran militer secara aktif tanpa ampun, yang bisa dimulai dari penguasaan wilayah pantai dan terus menusuk ke wilayah pedalaman.
Namun walau demikian, Belanda harus menghindari sasaran sipil mengingat setelah ditaklukkan, Aceh bisa menjadi daerah taklukkan yang sangat menguntungkan.

Tahun 1898, Van Heutz menjalankan rekomendasi Snouck Hurgronje. Jumlah tentara Belanda di Aceh terus ditambah. Senjata pun terus mengalir ke Aceh. Dengan pengerahan pasukan besar-besaran ini, perlahan tapi pasti Belanda mulai bisa menaklukkan sejengkal demi sejengkal tanah Aceh. Korban di pihak Belanda dan juga rakyat Aceh sangat besar.

(Bersambung)

—————— 
Artikel ini bekerjasama dengan Eramuslim Digest:Resensi Buku : Jejak Berdarah Yahudi Sepanjang Sejarah , Eramuslim Digest
[1] ‘Abdullah ‘Azzam; Runtuhnya Khilafah & Upaya Menegakkannya; Pustaka Al-Alaq; Solo; Cet.1; 1994; hal.20.
[2] Anthony Reid, ibid, hal.130.
[3] La Turquei, tanggal 9, 17, 19, 24 Mei dan 19 Juli 1873.
[4] Anthony Reid, ibid, hal.131.
[5] Ibid, hal.137.
[6] Ibid, hal. 138.
[7] Aqib Suminto; Politik Islam Hindia Belanda; Jakarta; LP3ES; 1986; hal.119.


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News CoinMarketcap]

Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-13

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-13-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-13 Jumlah pasukan Belanda yang dikerahkan dalam serangan kedua ini merupakan jumlah pasukan terbesar yang pernah digelar dalam satu operasi di Nusantara. Selain tentara regulernya yang berjumlah puluhan ribu, Belanda juga mengerahkan tak kurang dari 8.500 anggota pasukan elitnya, 1.500 pasukan cadangan, dan 4.300 pelayan dan kuli.

Seperti halnya dengan anggota pasukan Salib pertama yang direkrut dari para perampok, maling, narapidana, dan sampah masyarakat lainnya, maka tentara Belanda yang diberangkatkan ke Aceh ini juga diambil dari kalangan sampah masyarakat dari berbagai negeri Eropa.

Berbagai media Eropa menyebut pasukan Belanda ini sebagai pasukan yang memiliki disiplin dan moral yang amat rendah, dan bahkan menjijikkan bagi para pengamat dari Inggris.[1] Dan sebagai komandan pasukan keseluruhan, General Van Swieten dipanggil kembali dari pensiunnya dan diberikan upah yang sangat menggiurkan.

Yang patut menjadi catatan, di Batavia pada bulan November 1873 tengah berjangkit penyakit menular kolera yang saat itu belum ada obatnya. Banyak dari serdadu Belanda yang akan berangkat ke Aceh tertular penyakit ini. Tak kurang dari 80 serdadu meninggal akibat kolera di tengah perjalanan dan mayatnya dibuang ke laut.

Tanggal 9 Desember 1873, pasukan Belanda mendarat di Aceh di tengah hujan tembakan meriam laskar Aceh. Karena kekuatan senjata yang tidak seimbang, Belanda dapat menghalau laskar Aceh dari pantai. Pada hari Natal, 25 Desember 1873, pasukan Belanda merayakannya dengan melepaskan tembakan dan bom ke pusat kota Banda Aceh. Inilah kasih Natal bagi rakyat Aceh.

Masjid Raya Baiturrahman yang dipertahankan oleh pasukan Tuanku Hashim akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 6 Januari 1874. Kolera yang menjangkiti serdadu Belanda akhirnya menulari laskar Aceh. Pada 24 Januari 1874, saat pasukan yang dipimpin langsung oleh General Van Swieten mengepung istana kerajaan Aceh (keraton), laskar Aceh sengaja meninggalkan tempat itu yang sudah dipenuhi kuman kolera dan mundur ke bukit-bukit. Akibatnya, kian banyak serdadu Belanda yang terkena kolera di dalam istana tersebut dan mati konyol.

Jatuhnya” istana kerajaan Aceh itu menimbulkan semangat baru bagi para serdadu Belanda. Dengan langkah mantap dan gagah, mereka berbaris memasuki istana yang sudah kosong dan lapuk. Di Belanda sendiri, momen ini disambut dengan penuh sukacita.

“Antusiasme umum meletus, bendera berkibar di mana-mana dan ucapan selamat membanjiri Jenderal itu (Swieten).”[2]

Serdadu Belanda yang memasuki istana bertingkah-laku sangat kekanak-kanakan saking girangnya. Mereka beramai-ramai naik ke atas Gunongan sebuah miniatur gunung berpundan-pundan yang berada di dalam kompleks istana yang dibangun pada abad ke-17 dan dulu dipergunakan sebagai tempat perempuan istana bercengkerama sambil tidur-tiduran atau sekadar duduk-duduk. Mereka belum menyadari bahwa kolera diam-diam tengah membunuhnya.

Walau sudah “menguasai” istana, serdadu Belanda agaknya tidak juga merasa aman seratus persen. Tiap hari ada saja sniper-sniper Aceh dan aneka sabotase yang merenggut korban mati di pihaknya. Keadaan bertambah gawat ketika serdadu Belanda itu mengadakan operasi pembersihan ke wilayah perbatasan kota atau kampung. Tiap hari, jumlah korban yang jatuh di pihak Belanda makin bertambah banyak.

Keberhasilan “menaklukkan“ istana yang semula dianggap suatu keberhasilan ternyata menjadikan pasukan Belanda terkepung di Kutaradja. Mereka tidak bisa keluar jauh-jauh dari lingkungan istana. Bahkan untuk sekadar mendatangkan logistik saja, mereka harus mendatangkannya dari Penang setelah menerobos kepungan laskar Aceh di darat dan Selat Malaka dengan jumlah korban yang tidak sedikit.

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-13-"
Keadaan ini akhirnya memusingkan pejabat Belanda sendiri. Untuk meminimalisir kerugian yang lebih besar di pihaknya, Belanda menggelar sidang rahasia staten general pada tangal 16-17 Juni 1884. Sidang ini memutuskan untuk melaksanakan strategi “Stelsel konsentrasi” di Aceh, yang sesungguhnya mengikut strategi perang Belanda “Benteng Stelsel” ketika menghadapi perlawanan dari Pangeran Diponegoro (1825-1830).

Maksudnya, di tiap wilayah yang telah berhasil direbut pasukan Belanda, maka sesegera mungkin didirikan benteng dengan pagar yang tinggi dan kokoh. Dari sini Belanda bergerak terus memperluas wilayahnya, mendirikan benteng lagi, dan begitu seterusnya. Strategi ini memang cukup melelahkan tapi terbukti mampu menekan angka kerugian baik moril maupun materil.

Di sekitar Kutaradja saja (sebutan Belanda untuk Banda Aceh), telah dibangun satu stelsel konsentrasi di atas sebidang tanah seluas 50 kilometer persegi dengan 16 pos penjagaan. Di tiap pos penjagaan dibatasi oleh lapangan kosong tanpa pohon dan rumah sejauh 1000 meter, semua pos-pos tersebut dihubungkan dengan saluran telepon ke Kutaradja.

Ini mirip dengan konsep daerah penyangga seperti yang dilakukan Zionis-Israel di tanah jajahan Palestina yang mulai dibangun tahun 2000-an. Bedanya, di Aceh Belanda membangun ini untuk menghindari penyergapan dan penyerangan tiba-tiba dari laskar Aceh, terutama malam hari, maka daerah penyangga di Palestina dibangun kaum Zionis untuk menghindari roket-roket buatan mujahidin Palestina seperti roket Al-Qassam dan sebagainya yang masih memiliki daya jangkau terbatas jatuh di pemukiman Yahudi. Alhamdulillah, dari hari ke hari daya jangkau roket-roket Mujahidin Palestina ini kian jauh hingga akhirnya mampu mencapai Knesset, jantung gerombolan Zionis-Yahudi.

Walau stelsel konsentrasi ini efektif, namun ia tidak bisa dipergunakan dalam waktu yang lama mengingat strategi ini memakan banyak tenaga dan material yang sesungguhnya sangat terbatas. Nilai-nilai politis dan ekonomisnya pun menjadi hilang.

Bukannya menekan angka kerugian, tapi pada akhirnya malah memberatkan. Setelah berperang cukup lama, akhirnya Belanda baru sadar bahwa Islam-lah yang selama ini menjadi sumber kekuatan rakyat Aceh. Untuk menghadapi dan menundukkan Muslim Aceh maka diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang Islam dan kondisi sosiologis rakyat Aceh sendiri.

Untuk keperluan itulah akhirnya pemerintah Belanda mengirim Christiaan Snouck Hurgronje ke Aceh pada tahun 1889[3]. Tugas utamanya, meneliti kekuatan dan kelemahan Muslim Aceh agar bisa ditundukkan oleh pemerintahan kolonial Belanda.

Barat Ancam Turki Agar Tidak Bantu Aceh

Sebelum membahas soal Hurgronje, ada baiknya kita menengok upaya Kerajaan Aceh Darussalam melobi Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dalam menghadapi serangan Belanda. Kerajaan Aceh Darussalam, seperti yang telah disinggung di muka, telah mengakui Kekhalifahan Turki Utsmani sebagai khalifah dunia Islam. Sebab itu antara Aceh dengan Turki terkait suatu hubungan istimewa, bukan saja satu hubungan diplomatik, namun suatu hubungan layaknya satu saudara.

Seperti sabda Rasulullah SAW, “Umat Islam itu ibarat satu tubuh, bila satu bagian disakiti maka bagian lainnya pun akan turut merasakan.” Inilah hakikat dari ukhuwah Islamiyah.

Sebab itu, saat menghadapi armada Salib Portugis, balatentara Turki Utsmani dengan cepat membantu Aceh dan berhasil memukul mundur Portugis hingga negeri kolonial itu tidak mampu untuk menaklukkan Aceh sampai Belanda merebut Malaka dari tangannya. Bahkan Turki Utsmani mengizinkan kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki selagi berlayar di lautan agar aman dari gangguan para perompak dan armada perang negeri kafir. Turki Utsmani saat itu memang menjadi salah satu kekuatan dunia yang amat disegani.

Setelah berhasil memukul mundur armada Salib Belanda di bulan April 1873, Aceh sangat yakin Belanda pasti akan datang lagi dengan jumlah pasukan dan persenjataan yang lebih kuat dan banyak. Selain mempersiapkan pertahanan yang kuat di dalam negeri, Kerajaan Aceh Darussalam juga mengutus salah seorang diplomat kawakannya bernama Habib Abdurrahman Az-Zahir ke Turki guna meminta bantuan.

Sosok Abdurrahman Az-Zahir memang nyaris sempurna. Media Turki melukiskannya sebagai, “Seorang yang dikaruniai intelektual yang menakjubkan, dan kemampuan membaca keadaan yang luar biasa.”[4] Sebagai seorang sayyid, dia memiliki hubungan darah dengan Syarif Mekkah dan sangat dihormati oleh Turki.

(Bersambung)

——————
[1] London & China Telegraph, 3 Oktober 1873; The Times, 10 Oktober 1873; Harris kepada Granville, 27 Desember 1873, F.O.37/512; Kreemer I, hlm.15. Dikutip dari Reid, hal. 119.
[2] Surat Van de Putte kepada Padday, 5 Februari 1874.
[3] Lathiful Khuluq; Strategi Belanda Melumpuhkan Islam, Biografi C. Snouck Hurgronje; Pustaka Pelajar; Yogya, cet.1, 2002; hal.4.
[4] La Turquie, 11 Juni 1873. Di salin dalam surat Heldewier kepada Gericke, 14 Juni 1873, B. Z. Atjeh.