Krisis Penciptaan Sastra, Nalar Indra dan Nalar Dunia

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Krisis Penciptaan Sastra, Nalar Indra dan Nalar Dunia-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Krisis Penciptaan Sastra, Nalar Indra dan Nalar Dunia Setengah abad yang silam Soedjatmoko, cendekiawan yang pernah disebut sebagai Dekan Intelektual Bebas Indonesia, mengumumkan adanya "suatu krisis dalam kesusastraan kita". Di dalam tulisan yang merupakan "Pengantar" untuk edisi perdana majalah Konfrontasi, Juli-Agustus 1954, Soedjatmoko mengakui bahwa "banyak ciptaan yang memang berjasa serta adanya kelancaran dalam bahasa yang dipakai. Akan tetapi, ciptaan-ciptaan kesusastraan yang lebih besar masih saja ditunggu kehadirannya."

Bahasa memang medium yang dengannya sastra menghamparkan dirinya: menggelar kekuatannya sekaligus memamerkan krisisnya. Jika bahasa hanya dipandang sebagai ungkapan pikiran dan perasaan spontan manusia dengan memakai bunyi atau aksara, maka kita memang sulit melihat adanya krisis dalam sastra kita. Kita pun bisa dengan takzim bersepakat dengan HB Jassin atau siapa pun yang mengatakan "Kesusastraan Indonesia Modern Tak Ada Krisis".

Bahkan, sejak zaman Jassin menuliskan pembelaannya, kita sudah bisa membaca sejumlah karya sastra yang memamerkan kelancaran dalam bahasa yang dipakai. Setengah abad kemudian, kelancaran berbahasa sejumlah sastrawan muda kita kini bahkan sudah lebih baik dari generasi Jassin. Terlepas dari "apa" yang ingin mereka katakan, namun kemampuan "bagaimana" mereka mengatakannya jelas menunjukkan kelancaran berbahasa yang kian licin. Penggunaan bahasa dalam beberapa karya itu mencapai tingkat yang tidak jauh-jauh amat dari-bahkan hampir menyamai-kepiawaian berbahasa para pemenang hadiah Nobel, katakan seperti penggunaan bahasa Tony Morrison, Derek Walcott, atau JM Coetze.

Pada kulit luarnya, bahasa memang ungkapan pikiran dan perasaan manusia, tetapi pada intinya bahasa adalah pengorganisasian dunia: dimulai dengan pengorganisasian dunia kognitif yang kelak bergerak ke pengorganisasian dunia luar. Pengorganisasian dunia kognitif sudah dilakukan sejak penciptaan unsur dasar sastra seperti metafor yang, dalam kalimat Walter Benjamin, adalah perangkat di mana kesatuan dunia secara puitis disajikan. Kekerasan terorganisasi atas bahasa sehari-hari, seperti yang dipahami kaum Formalis Rusia, hanyalah salah satu cara yang mungkin untuk mengorganisasikan, dan mengorganisasikan ulang, dunia kognitif.

Sebagai bentuk khusus yang mengorganisasikan seluruh bidang semantik, sastra yang benar-benar kuat dan besar adalah sastra yang akhirnya menyeret kehidupan hanyut meniru separuh atau bahkan mungkin seluruh sastra tersebut. Sastra seperti ini, di mana kehidupan berpusar dan mengambil ilham darinya, tegak menjulang dengan bayang-bayang yang melintasi abad dan benua.

Jika bahasa dilihat sebagai pengorganisasian dunia dan sastra adalah wujud kesadaran dramatik atas pengorganisasian dunia itu, mungkin kita baru akan melihat krisis kita, yang bukan hanya krisis sastra (juga bukan sekadar krisis sastra berbahasa Indonesia). Krisis itu langsung menelanjangi diri dalam dua gejala paling menonjol penggunaan bahasa dalam sastra Indonesia, yang sudah sering diangkat sejumlah pengamat. Gejala pertama diperlihatkan oleh para penyair kita yang tampak begitu piawai menyusun puisi yang ganjil dan begitu tertatih-tatih ketika coba menyusun esai atau prosa yang kuat. Puisi-puisi mereka pun umumnya gelap. Dan, jika puisi-puisi itu cukup jernih, puisi itu terasa sebagai rekaman dari indra yang dilanda chaos.

Gejala kedua diperlihatkan oleh beberapa novelis kita yang paling menjanjikan. Mereka menulis novel dengan bahasa yang menari-nari. Tapi, novel ini sangat lemah dalam alur dan perwatakan. Gejala ini juga diperlihatkan oleh film-film kita yang gambarnya puitis, tetapi struktur ceritanya lemah. Sebagian sangat besar karya sastra dan seni kita, yang produksinya terus berjalan itu, memang mudah memelesetkan orang mengenang sebaris kalimat dalam novel Magic Mountain Thomas Mann. It was fresh-that was all. It lacked odor, it lacked content, it lacked moisture. It went easily into the lungs and said nothing to the soul.

Tentu saja tidak bisa dikatakan bahwa sama sekali tak ada karya seni dan intelektual di Indonesia yang bisa mengatakan sesuatu pada jiwa, tetapi jumlah mereka sangat sedikit dan kemunculannya pun sangat acak, dan karena itulah disebut krisis. Untuk sementara saya menyebut gejala luas ini sebagai dominasi nalar indra atas nalar dunia.

Data pertama bagi indra dan pengalaman manusia memang berada dalam keadaan yang begitu kompleks, bahkan kacau-balau. Sementara itu, alam yang tak bisa dipahami, betapapun mentah pemahaman itu, sungguh bukan alam yang bisa dihidupi. Kompleksitas data itu mengobarkan dalam benak manusia kerinduan akan penjelasan yang sederhana, yang bisa membantunya bertahan hidup.

Sebelum penjelasan yang sederhana itu diperoleh, manusia dan leluhur primatnya mengandalkan kelangsungan hidup pada indranya: pada apa yang langsung dilihat oleh matanya, pada apa yang langsung didengar oleh telinganya, pada apa yang langsung dirasakan oleh kulitnya. Nalar memang belum banyak digunakan, dan kalaupun dipakai maka itu lebih berupa nalar indra, yakni nalar yang disusun dengan mengandalkan data-data spontan indrawi. Nalar indra adalah nalar asosiatif yang cenderung mengaitkan sebuah tanda dengan peristiwa yang kaitan logisnya bisa sangat lemah, atau lebih tepatnya: dasar empiriknya sangat rapuh.

Secara linguistik, "nalar indra" merupakan oksimoron (contoh lain: cahaya gelap), sementara "nalar dunia" adalah pleonasme (contoh lain: cahaya terang). Sebagaimana tak ada cahaya yang benar-benar gelap, begitu juga tak ada makhluk hidup yang tak bernalar karena bahkan organisme bersel tunggal pun, dengan "sistem indra"-nya yang sederhana, terbukti memiliki penalaran sendiri yang membuatnya bisa meneruskan arus genetiknya di tengah dunianya yang terbatas. Kegiatan indra memang tak punya kaitan kuat dengan penalaran logis dan abstraksi kompleks. Indra mengaitkan diri pada trauma dan prasangka yang tak harus logis. Sementara kegiatan nalar adalah kegiatan yang dengan sendirinya membangun struktur; dari struktur yang sederhana ke struktur yang kian kompleks: dunia dengan dimensi ruang dan waktunya, di mana masa silam dihuni oleh lumbung pengetahuan dan masa depan diisi dengan abstraksi dan penyempurnaan dunia.

Yang pasti, strategi survival yang mengandalkan indra itu terbukti berguna terutama ketika informasi lingkungan memang kacau-balau, peristiwa-peristiwa terjadi seakan tanpa kaitan yang jelas. Tetapi, strategi ini hanya berguna untuk survival, bukan untuk berbudaya. Kebudayaan muncul ketika manusia mulai membangun pemahaman bahwa dunia pada dasarnya terstruktur, bahwa peristiwa-peristiwa terjadi karena sejumlah kaitan. Alam, betapapun, memang menunjukkan sejumlah keteraturan, lewat perubahan siang dan malam, pertukaran musim, lewat kelahiran dan kematian. Pengamatan dan ingatan atas keteraturan itu memberi jalan pada manusia untuk "memahami" kaitan-kaitan antarperistiwa, "membaca" tanda-tanda. Mereka membangun teknologi sosial bernama bahasa dan mitologi untuk mengorganisasikan pengalaman dan menstrukturkan dunia.

Jika pengetahuan diandaikan sebagai sistem kibernetik, maka pengetahuan dan strategi berpikir masyarakat pramodern adalah sistem saibernetik yang masukannya berasal dari apa yang dicerap indra. Padahal, orang sungguh tak harus belajar geologi, Marx, Freud atau Levi-Strauss untuk paham bahwa realitas yang spontan tercerap oleh indra manusia, kerap berasal dari suatu taraf yang lebih mendalam, yang tak tercerap jangkauan sempit indra. Karena ditata melulu di atas persepsi realitas yang spontan, sistem pengetahuan dan strategi berpikir masyarakat pramodern perlu waktu untuk sadar bahwa konstruksi kognitif yang dihasilkan oleh strategi berpikir itu bisa juga dimaterialkan dan diumpankan balik, di-reentry-kan ke dalam sistem itu, suatu kegiatan kognitif yang dalam literatur filsafat disebut refleksi dan dalam kibernetik disebut referensi diri. Setelah bekerja ribuan tahun, ditopang oleh suatu mekanisme nonlinier yang muncul dalam pemikiran sejumlah genius purba, sistem pramodern bisa juga menghasilkan sistem pengetahuan, sari pati perenungan dunia dan manusia, yang tak gampang diremehkan.

Selain karena masukannya yang jauh lebih luas dari apa yang bisa dicerap spontan indra manusia, pengetahuan ingeniur mengubah dunia dengan radikal dalam waktu begitu singkat, terutama karena kesadarannya mengumpanbalikkan dirinya ke dalam dirinya sendiri, yang terus memberi wawasan baru ke dalam semesta kenyataan. Referensi diri yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan, atau tepatnya peledakan, pengetahuan ilmiah secara eksponensial ini jadi sumber revolusi pemetaan kognitif dan perangkaan rujukan kosmologis manusia.

Adalah keperkasaan nalar dunia dan ilmu pengetahuan yang membuat dunia berubah demikian hebat. Metafor hari kemarin pun tanpa bisa dielakkan menjadi klise hari ini yang menuntut penciptaan metafor-metafor baru.

Revolusi dan perubahan dunia itu, bagi sebagian orang, terhampar sebagai proses mahadahsyat, yang dikira berada di luar kemampuan manusia untuk membayangkan, menangkap, mengerti, dan merasakannya. Bagi orang yang berada di pinggir, berputar-putar hanya luar pusaran penciptaan dunia baru itu, pendek kata, bagi mereka yang tak terlibat dengan produksi-pengertian kunci yang dipegang Bertolt Brecht dalam perdebatannya menghadapi George Lukacs-dunia telah berkembang di luar batas-batas yang bisa dipahami.

Menghadapi dunia yang berlari tunggang langgang menjauh dari batas-batas pengetahuan tradisionalnya, manusia akan cenderung bersikap defensif atau kehilangan orientasi. Sebagian menjadi masokhis dan menipu diri dengan cara yang patetis. Mereka pun membangun pemikiran yang mulanya mungkin terdengar revolusioner, tetapi akhirnya cuma layak dikuburkan, setidaknya dibongkar ulang karena pemikiran itu telah menjadi resep bagi primitivisasi dunia di mana manusia diminta untuk semata-mata bergantung pada indranya.

Neil Postman, misalnya, yang pernah dikutip penyair Adi Wicaksono, mendakwahkan perlunya suatu sikap yang cenderung tidak hirau terhadap kepaduan dan koherensi teks akibat empasan gelombang pasang ingar-bingar dunia tipografis yang diledakkan oleh revolusi ilmu dan teknologi. Yang dicari justru keterpecahan, ketercerai-beraian, fragmentasi, segregasi, benturan-benturan acak, suatu histeria yang diam-diam menghasilkan semacam sikap emoh struktur. Citra yang berpilin dengan citra, gambar yang tumpah dalam buncahan dan potongan-potongan gambar, cukuplah diterima sebagai empasan sensasi yang menyentuh indra penglihatan, tak perlu diusut hal ihwal di baliknya, tak penting benar apakah ada maknanya atau sekadar nonsens.

Dicarilah apa yang disebut Roland Barthes sebagai jouissance, suatu kenikmatan yang dihasilkan dari permainan bentuk yang semata-mata indrawi, dangkal dan wantah, bukannya suatu plaisir yang dapat menghasilkan semacam kenikmatan intelektual. Suatu permainan visual untuk tujuan permainan itu sendiri. Dan, di situ tak diperlukan koherensi dalam bentuk apa pun. Pengejaran kenikmatan indrawi secara ekstrem ini ditopang dengan penumpulan nalar dan pelaksanaan kekuasaan secara arbitrer, dihadirkan dan diejek dengan kuat, misalnya dalam film Pier Paolo Pasolini: Salo.

Seni dan pemikiran yang mengaitkan diri dengan semangat postmodern dekonstruksionis ini dalam beberapa hal memang layak dibongkar karena berdiri di atas sejumlah pengertian yang rapuh. Salah satu di antara pengertian yang nyaris mencapai tingkat iman itu adalah bahwa dunia dan kenyataan bersifat kacau-balau, terpecah-pecah, kaotis. Keyakinan yang meluas bahwa kenyataan bersifat kacau-balau atau arbitrer meletakkan kaum penghujat rasio itu sejajar dengan masyarakat primitif pra-ilmiah yang mengira bahwa bumi ini datar dan Matahari beredar mengitari bumi. Sekalipun pengalaman spontan dan indrawi menunjukkan bahwa kenyataan berwatak acak dan terpecah-pecah, tidak dengan sendirinya kenyataan dan dunia memang acak dan terpecah-pecah. Pengalaman memang bisa jadi guru yang sesat dan menyesatkan.

Reaksi terhadap perkembangan dan perubahan dunia yang luar biasa itu, dalam khazanah sastra Indonesia, menunjukkan banyak hal menarik. Dalam hampir semua karya sastra Indonesia, dunia yang dibentuk oleh sejarah dan manusia adalah tokoh yang tak pernah hadir. Dan, kalaupun hadir, ia lebih merupakan tamu yang tak diundang. Ia lebih sering muncul sebagai bahan yang digunjingkan setelah sebelumnya direduksi, bahkan dimutilasi dengan tak semena-mena. Dalam pergunjingan itu, dunia dicurigai, disepelekan, dijauhi.

Memang ada juga karya di mana dunia, dalam hal ini Barat, malah disembah secara membabi buta. Meskipun demikian, dalam khazanah sastra ini, dunia tidak hadir sebagai kawan dekat yang menghamparkan diri dengan segala kebesaran dan kompleksitasnya, dengan segenap proses pertumbuhan dan percobaannya, yang kadang menakjubkan kadang menggelikan, yang memberi ruang bagi penulis dan pembaca untuk tumbuh bersama mengembangkan dan mengkritik diri, memperpeka indra memperkaya rohani.

Karya yang disusun dengan jarak dari dunia memang memustahilkan munculnya kerja seni besar yang, dalam kalimat Soedjatmoko, seolah-olah membuka mata kita secercah kepada kebenaran yang dirasakan sebagai pengalaman langsung tetapi tak berwujud, sebagai kesadaran serta kejadian batin, yang oleh si pencipta seni ditangkap dan dipantulkan, seperti cahaya Matahari ditangkap intan permata dan terbias berpancaran aneka warna pada faset-fasetnya.

Dalam khazanah karya yang sudah terentang puluhan tahun itu, orang mudah naik pitam mencari karya dengan penjelajahan dan perayaan atas sesuatu yang jauh lebih besar ketimbang karakter-karakter atau tempat-tempat istimewa yang diuraikannya. Karya yang tidak benar-benar bergulat dengan dunia, tidak memahami benar logikanya, adalah karya yang memang memustahilkan hadirnya sebuah pandangan dunia, pengalaman eksplorasi sejumlah pertanyaan-pertanyaan besar tentang arah hidup individual dan sosial, tentang sebuah sistem keyakinan, tentang tradisi-tradisi masa silam dan kemungkinan-kemungkinan hari depan-tentang hal-hal besar yang dengannya kita mendefinisikan kebudayaan.

Yang gampang ditemukan adalah karya-karya di mana para sastrawan, mengutip satu baris Wing Karjo, ikut menuang racun berwarna-warni, dalam dunia yang menurut pengalaman indrawi mereka: karut-marut dan serba tak pasti. Dan, warna racun yang paling dominan adalah ungu, dengan berbagai gradasinya: psikologisme dengan berbagai kepekatannya. Mereka ini sibuk menularkan kesadaran palsu bahwa dunia memang tak terkontrol dan mustahil dipahami, bahwa dunia memang sebagaimana yang melulu dialami secara indrawi, bahwa upaya untuk membangun narasi besar, karena sejumlah kegagalannya, maka akan seterusnya ditakdirkan gagal.

Racun warna-warni itu dituang juga oleh para sastrawan yang paling hebat. Goenawan Mohamad jelas adalah penyair yang termasuk paling berjasa dalam memperkaya bahasa Indonesia. Yang menarik-atau justru tidak menarik-dari Goenawan adalah bahwa bahasa yang ia kembangkan adalah bahasa yang dilandasi oleh ketidaknyamanan terhadap dunia. Ia pernah menyebut sejarah yang hadir sebagai sesuatu yang brutal, kebudayaan sebagai trauma. Dibantu oleh sejumlah pemikiran postmodern, Goenawan pun memarodikan nalar dan ilmu, menghadirkannya sebagai sesuatu yang wataknya tak akan berubah dan akan selalu memiskinkan dunia.

Membuat parodi tentang nalar dan ilmu, lalu melancarkan kritik terhadapnya, memang tidak dengan sendirinya mencerminkan pengetahuan dan kritik yang memadai terhadap nalar dan ilmu. Terbukti bahwa kritik nalar dan ilmu terhadap dirinya jauh lebih revolusioner dan tentu saja lebih produktif dibandingkan dengan kritik yang datang dari luar.

Kecurigaan Goenawan terhadap nalar dan ilmu, yang rupanya punya banyak pengekor itu, tampil bersama dengan kecurigaan terhadap bahasa ilmu dan teknologi, yang mutlak membutuhkan konsep yang jelas, makna yang taksa, arti yang tak terbantah; bahasa yang dikira sebagai bahaya maut bagi kehidupan puisi Indonesia.

Ketaksukaan terhadap bahasa dengan makna taksa itu, bahasa matematika, misalnya, sudah muncul antara lain lewat Heidegger yang mempersoalkan calculability and certitude of representation. Matematika memang memberi ilmu sebuah bahasa yang transparan dan telah kehilangan seluruh rahasia ontologisnya sehingga memungkinkan munculnya makna yang tunggal dan stabil. Sebagai bahasa, matematika telah dimurnikan dari sifat acak absolut bahasa sehari-hari, sebelum adanya figurasi dan makna, atau dengan figurasi dan makna yang terus berubah bersama mobilitas tanda linguistik.

Di dunia di mana kelimpah-ruahan dan ambiguitas makna disembah, matematika memang akan berhadapan diametral dengan puisi. Dalam matematika, tanda bahasa boleh berubah-ubah dan beraneka, namun artinya sudah tertetap dan tertentu. Dalam puisi, ada banyak arti meskipun tanda-tandanya tertetap dan tertentu. Sajak, meminjam Octavio Paz, adalah suatu totalitas pekat-kental, dan perubahan paling kecil pun sudah mengubah bukan saja arti, tetapi juga keseluruhan komposisi. Dan puisi, seperti ditulis Goenawan Mohamad, tak cuma kata, tak cuma kalimat, yang menuntut kita melotot. Ia juga nada, bunyi, bahkan kebisuan, juga elemen ketidaksadaran, atau jika kita setuju dengan Freud, ungkapan yang terbentuk dari dorongan-dorongan naluri. Di sini puisi niscaya akan tampil sebagai pahlawan dengan kualitas ilahiah memperkaya dan bahkan mentransendenkan bahasa, sedang matematika akan tampak sebagai penjahat dengan kemampuan satu-satunya memiskinkan dan membunuh bahasa, dengan menyedot darah kelimpah-ruahan dan ambiguitas makna darinya.

Akan tetapi, jika sebuah bangunan matematis dihadapi dalam suasana Stimmung ala Nietzsche, maka bangunan matematis yang memang meniatkan membebaskan diri dari infeksi sejarah, mengosongkan diri dari fungsi ruang dan waktu itu, juga sanggup untuk membuat orang mendengar gagasan di belakang simbol matematis itu, intuisi di belakang gagasan itu, dan nalar di belakang intuisi itu: Nalar yang berbicara pada manusia dan dunia lewat formulasi tipografis matematikawan. Stimmung jelas akan mengubah keindahan matematis-yang dalam pandangan Bertrand Russell hanyalah keindahan yang dingin dan sederhana yang tak memancing reaksi dari hakikat manusia yang lemah, tanpa jeratan yang memukau-menjadi keindahan yang hampir setingkat penyingkapan kekuatan rahasia logika di hadapan kenyataan.

Dengan kalimat lain, sebuah rumusan matematis bisa membawa efek estetik-spiritual yang sama dengan sebuah taman pasir dan karang. Efek estetik dan spiritual itu hanya sebagian dari sejumlah kekuatan yang dimiliki oleh matematika, kekuatan yang menjadikan matematika bahasa yang mampu memberi ilmu landasan untuk mengontrol dunia fisik, untuk mengatasi kenyataan.

Pramoedya Ananta Toer tampaknya memang novelis Indonesia paling menonjol yang menyambut hangat dan tegas kehadiran ilmu dan teknologi; satu-satunya yang dengan sadar menyatakan bahwa karangannya disusun untuk menjadi sebuah tesis. Genre sastra yang ia pilih memang lebih memungkinkan ia menata sebuah pandangan dunia. Kesadaran bahwa karya adalah sebuah tesis, di samping pergulatan nyata dengan dunia yang ditulisnya, itulah agaknya sumber kekuatannya yang memberi sejumlah gravitasi pada tulisan-tulisannya yang terbaik yang lebih hemat kata.

Andreas Teeuw pernah menyebut bahwa Pram adalah penulis yang lahir sekali dalam satu abad, setidaknya satu generasi. Saya sungguh-sungguh berharap semoga Pram benar-benar menjadi penulis terakhir Indonesia yang membiarkan karyanya dicemari oleh sejenis Manicheanisme, sebuah kosmologi kuno yang keterlaluan sederhananya, yang membagi dunia dalam dua kutub yang tak terdamaikan. Semoga tak ada lagi sastrawan Indonesia yang sadar atau tidak, merusak karyanya dengan sejumlah esensialisasi, yang mereduksi sekaligus mengasosiasikan seseorang atau satu kaum pada sejumlah isme yang mustahil orang-orang seperti Pram berdamai dengannya.

Biarlah proyek pengungkapan sejarah Pram menjadi salah satu bahan mentah para penulis yang mencoba menghadirkan ulang Indonesia dan dunia di masa-masa yang silam. Bahan mentah yang menanti sentuhan dan ilham yang memungkinkan penulis seperti Walter Benjamin bergerak membangun ulang ibu kota dunia abad ke-19, Paris, dengan cara yang konon sebanding dengan metode fisi nuklir yang melepaskan energi yang terpenjara dalam struktur atom. Cara itu dimaksudkan untuk membebaskan energi sejarah yang dahsyat yang tidur mendekam di bawah berbagai narasi sejarah yang klasik.

Adapun mengenai karya sastra yang sudah ada, dan cita-cita literer yang belum tercapai, biarlah jadi bahan bagi upaya memadukan segenap kekuatan estetik yang terserak dan kenyataan yang terpecah-pecah, untuk membangkitkan sekaligus menantang dunia dengan alegori dan ironi, seperti reaksi fusi yang melebur atom-atom sederhana, untuk menghasilkan atom baru dan ledakan energi yang memekarkan bintang-bintang dan Matahari.

Sastra dan seni besar seperti itu tentu saja masih butuh indra. Tubuh dan indra adalah instrumen yang paling peka untuk mengecek kenyataan, indikator akan kekonkretan. Tetapi, karya seperti itu juga butuh sesuatu yang sangat intelektual, yang setara dengan upaya monoteisme Ibrahim mengajukan waktu linier yang berurutan dan tak berulang, sebagai kritik terhadap waktu siklis dunia Yunani-Romawi Kuno dan segenap masyarakat penganut politeisme. Dalam pandangan dunia monoteistis, di atas waktu linier historis yang terbentang sejak kejatuhan Adam sampai ke Hari Pembalasan, masih ada waktu magis lain yang tak mengenal perubahan, yakni kekekalan.

Abad Modern dengan berbagai sastra dan seninya, seperti kata Octavio Paz, lahir sebagai kritik terhadap kekekalan waktu monoteisme Ibrahim, dan munculnya faham waktu yang berbeda. Di satu sisi, waktu finit linier monoteisme, dengan awal dan akhirnya, diubah menjadi rentang waktu yang nyaris tak terbatas bagi evolusi alam dan sejarah, dan yang tetap terbuka dengan segala kemungkinannya ke masa depan. Di sisi lain, modernitas mendevaluasi kekekalan: kesempurnaan dipindahkan ke masa depan yang berada di dunia ini, bukannya di alam akhirat.

Perkembangan dan pencapaian rasio manusia di awal alaf ini bukan saja membuka jalan untuk mengatasi waktu monoteistis dan waktu modernis itu dengan memuliakan Kehadiran, seperti yang diajukan Paz. Selain memberi jalan bagi pengorganisasian dan persilangan waktu, imajinasi yang menubuh dalam kehadiran tanpa satu titik waktu, rasio itu bahkan menghamparkan kemungkinan untuk memproduksi sendiri secara fisik, bukan sekadar kognitif, ruang dan waktu sendiri.

di Tulis Oleh: Nirwan Ahmad Arsuka Anggota Dewan Kurator Bentara Budaya Jakarta


[Sumber: yang diambil oleh Admin Blog Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh Silahkan Lihat Di News Kompas Cyber]

Ustaz, Pastor, dan Guru

Property Pribadi Suriya-aceh Info-Anak-MeulabohDoc. Pribadi Ilustrasi Gambar Blog Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh: Ustaz, Pastor, dan Guru
Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh Ustaz, Pastor, dan Guru - MAKNA kata memang bisa dilihat dari berbagai aspek. Ada makna leksikal, yakni makna kata sebagai lambang benda atau peristiwa. Ada makna gramatikal, yakni makna atas dasar hubungan antarkata serta antara kata dan frasa atau klausa. Di samping itu masih ada makna kontekstual, makna konotatif, makna emotif, makna kognitif, makna intensif, makna ekstensif, makna denotatif, makna lokusif, makna luas, makna khusus, dan lain-lain. Dulu makna kata ini oleh para guru kita disebut sebagai arti kiasan dan arti sebenarnya.

Makna kata inilah yang menjadi acuan AyatrohaĆ©di ketika menulis Ustaz di Kampung Maling di rubrik ini, 5 Maret 2005: "Itu yang kemudian membedakan ustaz, juga pastor dan pendeta (Protestan), dari guru yang berubah menjadi ’pekerjaan umum’." Mang Ayat benar. Makna leksikal ustaz, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah ’guru agama atau guru besar’, memang telah tenggelam oleh makna gramatikal sekaligus kontekstualnya sebagai simbol kebaikan dan kesucian. Status ustaz kini berada di deretan kiai, pendeta, dan pastor yang berbeda dengan guru agama di sekolah umum.

Namun, makna leksikal pastor dan pendeta tetap berbeda dengan ustaz maupun kiai. Dalam agama Islam, siapa saja asal bukan perempuan bisa menjadi imam untuk memimpin salat berjamaah. Dalam agama Hindu, Buddha, Konghucu, Protestan, dan Katolik tidak semua orang bisa berfungsi sebagai "imam" untuk memimpin ibadah. Itu tugas pendeta dan pastor. Makna leksikal ustaz, pendeta, dan pastor sebaiknya jangan dikacaukan oleh makna gramatikal dan kontekstualnya. Selain karena menyangkut agama yang berlainan dan perbedaan pokok profesi itu, pergeseran makna kontekstual ustaz hanya sebatas sebagai simbol kebaikan. Makna leksikalnya tetap: guru agama. Bukan pemimpin dalam struktur keagamaan permanen.

Makna leksikal pendeta (Hindu, Buddha, Konghocu, dan Protestan) serta pastor (Katolik) terutama adalah sebagai pemimpin agama dan imam permanen, yang jelas beda dengan profesi ustaz. Untuk bisa menjadi imam, pendeta dan pastor harus menempuh jenjang pendidikan tertentu. Untuk menjadi ustaz dan kiai yang merupakan profesi permanen, seseorang memang tetap memerlukan jenjang pendidikan khusus dan pengakuan umat. Namun, untuk menjadi imam dalam salat berjamaah, Islam tidak menuntut adanya status permanen yang diraih melalui pendidikan khusus.

Meskipun sama-sama memiliki persamaan makna leksikal sebagai pemimpin keagamaan dan imam permanen, pendeta dan pastor juga punya perbedaan makna leksikal yang prinsipiil. Pendeta bisa berumah tangga (menikah dan punya anak), sementara pastor tidak menikah. Karena itu, pendeta bisa hidup normal sebagai anggota masyarakat biasa, sementara pastor adalah anggota tarekat yang mutlak hidup di biara, kecuali pastor praja (diosesan) yang bukan anggota tarekat (langsung di bawah keuskupan) sehingga boleh hidup di luar biara. Meskipun begitu, mereka juga tetap tidak menikah.

Status pendeta dan pastor sebagai pemimpin keagamaan permanen sebenarnya sama dengan imam masjid, bukan imam dalam salat berjamaah meski dalam hal ini pun tetap ada perbedaan antara pendeta dan imam masjid dengan pastor. Sebagai anggota tarekat, pastor bisa pindah (dimutasikan) ke mana pun bahkan sampai ke luar negeri, sesuai dengan keputusan pemimpin tarekat. Imam masjid tidak lazim dimutasikan. Ini disebabkan oleh struktur kerucut agama Katolik yang masif dengan Paus dan Vatikan sebagai negara berdaulat merupakan puncaknya. Sementara Hindu, Buddha, Konghucu, Protestan, dan Islam tidak memiliki struktur kerucut yang masif demikian sehingga relatif lebih "demokratis".

Meskipun makna leksikal guru dalam KBBI adalah ’orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar’, makna gramatikal, kontekstual, dan konotatifnya tetap beragam. Ketika menteri, BJ Habibie menyebut Soeharto sebagai "guru besar". Maknanya pasti bukan makna leksikal sebab Soeharto tak pernah kuliah, apalagi mengajar di universitas. Kalau Nurcholish Madjid disebut sebagai "guru bangsa", maknanya bukan Cak Nur bermata pencaharian mengajar bangsa ini. Bahkan, makna maling dalam Ustaz di Kampung Maling pasti bukan leksikal, melainkan gramatikal, kontekstual, atau konotatif.

di Tulis Oleh: F Rahardi Penyair