Israel Tak Pernah Berniat Damai dengan Palestina

Property Pribadi Suriya-aceh Info-Anak-MeulabohDoc. Pribadi Ilustrasi Gambar Blog Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh: Israel Tak Pernah Berniat Damai dengan Palestina
Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh Israel Tak Pernah Berniat Damai dengan Palestina - Setelah tercapai kesepakatan gencatan senjata di Ghaza antara Hamas dan Israel lewat mediasi Mesir bulan pertengahan Juni lalu, warga Palestina di Ghaza berharap krisis ekonomi dan sosial yang sudah hampir setahun ini mereka alami akibat blokade Israel akan berakhir. Tapi harapan tinggal harapan. Israel tak jua menepati janjinya untuk secara bertahap membuka perbatasan-perbatasan di Jalur Ghaza yang memungkinkan bantuan-bantuan kemanusiaan bisa masuk dan warga Ghaza bebas keluar masuk perbatasan untuk keperluan hidupnya. Israel melakukan blokade total di Ghaza, warga Palestina di Ghaza tetap menghadapi krisis kemanusiaan yang makin memburuk.

Selain itu, Israel juga seperti mengalihkan operasi-operasi militer yang biasa dilakukan di Jalur Ghaza ke Tepi Barat. Di Tepi Barat, Israel jadi lebih sering melakukan razia, penggeledahan ke rumah-rumah, melakukan penangkapan bahkan menghancurkan rumah-rumah warga Palestina tanpa alasan yang jelas. Sebagian analis mengatakan, Israel sengaka melakukan itu semua untuk memancing kemarahan dan pembalasan Hamas, agar Hamas kembali menembakkan roketnya dari Jalur Ghaza ke wilayah Israel, dan Israel akan punya alasan untuk menuding Hamas telah melanggar kesepakatan gencatan senjata.

Kenyataan ini menimbulkan tanda tanya, jika Israel masih terus memburu anggota Hamas dan tetap melakukan blokade serta serangkaian aksi-aksi kekerasan terhadap warga Palestina, mengapa rezim Zionis itu bersedia melakukan gencatan senjata dengan Hamas di Jalur Ghaza? Benarkah Israel serius ingin melakukan gencatan senjata? Dan apa sebenarnya tujuan Israel dengan gencatan senjata ini?

Saleh Al-Naami, seorang jurnalis dan peneliti yang tulisan-tulisannya sering muncul di harian berbahasa Arab yang terbit di London, Al-Hayat dalam analisanya berjudul ”Israel’s Strategy for Peace Abortion” membeberkan sejumlah persoalan di balik gencatan senjata Israel-Hamas. Terutama persoalan dari sisi Israel yang menurutnya sulit dipercaya rezim Zionis itu punya niat baik untuk mematuhi gencatan senjata tersebut.

Dalam analisanya, Al-Naammi mengutip penjelasan Waleed al-Modallal seorang profesor di Universitas Islam Ghaza. Menurutnya, gencatan senjata antara Israel dan Hamas tidak terlepas dari peran Perdana Menteri Ehud Olmert. Olmert memikul beban berat atas kekalahan pasukan Israel dalam perang melawan Hizbullah di Libanon tahun 2006, ia juga punya tanggung jawab moral pada publik Israel untuk membebaskan Gilad Shalit, prajuritnya yang sampai detik ini masih berada dalam tawanan Hamas. Beban itu makin berat setelah belakangan ini, kasus suap yang melibatkan Olmert terungkap.

Dalam situasi seperti itu, Olmert sulit mengambil keputusan untuk tetap melakukan kebijakan ”perang” dengan Hamas di Jalur Ghaza meski ia pernah sesumbar mengatakan bahwa Jalur Ghaza adalah wilayah musuh dan oleh sebab itu harus diperlakukan sebagai musuh dengan menggelar operasi militer rutin. Belajar dari perang dengan Hizbullah di Libanon, Olmert akan menghadapi konsekuensi kembali kehilangan banyak prajuritnya jika mengikrarkan perang terbuka dengan Hamas dan secara moral, Israel akan menghadapi tudingan ingin kembali menguasai Jalur Ghaza. Dari berbagai sisi, posisi Israel tidak menguntungkan jika Olmert memaksakan konfrontasi di Jalur Ghaza.

Di sisi lain, dengan kesepakatan gencatan senjata yang hanya dibatasi berlaku di Jalur Ghaza, Israel berpikir bahwa mereka bisa masih melanjutkan tindakan represif terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Oleh para penentang gencatan senjata di Israel, hal menjadi celah bagi mereka untuk mengintensifkan aksi-aksi kekerasan dan pembunuhan terhadap aktivis-aktivis perjuangan Palestina di wilayah Tepi Barat utara dan tengah.

Yuval Diskin-kepala badan intelejen dalam negeri Israel (Shabak) adalah salah seorang yang menolak gencatan senjata Israel-Hamas dan dengan terus terang ia memperingatkan akan konsekuensi yang akan terjadi. Al-Modallal mengatakan bahwa Diskin memegang peranan yang sangat penting sebagai kepala badan intelejen, dalam menghancurkan kesepakatan gencatan senjata itu.

Peneliti dan penulis Palestina lainnya, Nehad Al-Syaikh Al-Khalil, tulis al-Naami, juga tidak yakin Israel memang benar-benar berniat menciptakan suasana tenang di Ghaza lewat gencatan senjata. Menurut Al-Khalil, Israel memanfaatkan gencatan senjata itu untuk menyusun kekuatan agar bisa melakukan serangan militer yang lebih solid dan kuat terhadap posisi Hamas, terutama di Jalur Ghaza. Dan strategi seperti, berdasarkan pengalaman, sudah sering dilakukan Israel. Gencatan senjata dijadikan persiapan perang bagi Israel hingga mereka menemukan saat yang tepat untuk melakukan serangan.

Penaklukan dengan Strategi Cara Pecah Belah

Property Pribadi Suriya-aceh Info-Anak-MeulabohDoc. Pribadi Ilustrasi Gambar Blog Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh: Israel Tak Pernah Berniat Damai dengan Palestina
Analisa lebih mendalam dikutip al-Naami dari Profesor bidang politik Universitas Al-Azhar di Ghaza, Profesor Nagy Sharab. Menurutnya, gencatan senjata Israel-Hamas tidak memiliki kekuatan hukum dan memberi celah bagi kedua belah pihak untuk tidak mematuhinya.

Gencatan senjata tidak terdokumentasikan, tidak mengikat dan tanpa jaminan. Apalagi kesepakatannya tidak meliputi wilayah Tepi Barat, dan ini memicu dampak negatif di wilayah itu berupa aksi-aksi pembalasan yang lebih keras dari Israel,” kata Profesor Sharab.

Kondisinya makin menguntungkan bagi Israel, karena di dalam negeri Palestina sendiri terjadi pertikaian antara Fatah dan Hamas, dua faksi terbesar di Palestina.

Israel, papar Profesor Sharab, berusaha keras mencapai dua tujuan utamanya. Pertama, memecah belah faksi-faksi perjuangan di Palestina serta menyingkirkan Hamas. Kedua, berupaya memeras Abu Mazen (sebutan untuk Presiden Palestina Mahmud Abbas) dalam berbagai negosiasi dengan memanfaatkan kekhawatiran Abu Mazen terhadap Hamas. Sehingga Abu Mazen terseret untuk melakukan kompromi-kompromi dengan Israel.

Meski demikian, kata Profesor Sharab, Israel tidak akan dengan mudah mencapai target-targetnya itu. Dan jika mereka gagal mencapai target tersebut, bisa dipastikan Israel akan mengambil kebijakan untuk mengerahkan kekuatan militernya ke Jalur Ghaza.

Profesor Sharab juga tidak menutup kemungkinan bahwa kesediaan Israel melakukan gencatan senjata dengan Hamas di Jalur Ghaza, ada kaitannya dengan ambisi rezim Zionis itu untuk menyerang fasilitas-fasilitas nuklir Iran. ”Israel menyadari, akan sangat tidak praktis jika melakukan serangan ke Iran, dan dalam waktu yang sama juga harus melakukan konfrontasi di Jalur Ghaza,” ujar Profesor Sharab.

Dalam kesimpulan tulisannya, al-Naami, yang juga sering menulis untuk penerbitan Pusat Studi Timur Tengah di Yordania dan penulis buku ”Press and the Military in Israel” ini menyatakan, pengalaman panjang dalam sejarah konflik Palestina-Israel membuktikan bahwa rezim Zionis punya metode yang sudah bisa dibaca dalam pengkhianatannya terhadap sejumlah kesepakatan gencatan senjata dengan Palestina.

Sejarah Panjang Pengkhianatan Rezim Zionis Israel

Property Pribadi Suriya-aceh Info-Anak-MeulabohDoc. Pribadi Ilustrasi Gambar Blog Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh: Israel Tak Pernah Berniat Damai dengan Palestina
Pada bulan Juni 2003, Israel menyatakan menerima kesepakatan gencatan senjata dengan faksi-faksi pejuang di Palestina. Selama tiga bulan, pihak Palestina mematuhi kesepakatan itu, namun Israel malah melakukan pembunuhan terhadap Ismail Abu Shanab, salah seorang tokoh Hamas sehingga memaksa faksi-faksi pejuang di Palestina melakukan aksi balasan dan berakhirlah kesepakatan gencatan senjata itu.

Bulan November tahun 2005, kembali tercapai kesepakatan gencatan senjata dengan Israel yang diupayakan Palestina. Lagi-lagi Israel yang lebih dulu melanggar kesepakatan itu dengan membunuh para aktivis pejuang Palestina. Salah satu provokasi Israel adalah dengan membunuh tokoh pimpinan pejuang Jihad Islam Ahmed Arhim, yang tuna netra dengan cara melepaskan anjing-anjing tentara Israel untuk mencabik-cabik tubuh Ahmed Arhim di depan mata warga Palestina. Tak urung, aksi keji Zionis Israel memicu balas dendam para pejuang Palestina.

Al-Naami menulis, dalam buku berjudul "The Seventh War"-buku tentang manajemen perang Israel pada masa gerakan Intifada al-Aqsa kedu-dua wartawan Israel Avi Yisacharov dan Amos Harel membeberkan bahwa militer Israel memang punya kebijakan dan metode untuk tidak mematuhi dan melanggar kesepakatan-kesepakatan gencatan senjata di Jalur Ghaza dan Tepi Barat, yang diupayakan dalam level regional maupun internasional. Israel memang tidak pernah berniat berdamai dengan Palestina.


[Sumber: yang diambil oleh Admin Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh Silahkan Lihat Di News eramuslim]

Industrialisasi Gelar

Property Pribadi Suriya-aceh Info-Anak-MeulabohDoc. Pribadi Ilustrasi Gambar Blog Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh: Industrialisasi Gelar
Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh Industrialisasi Gelar - “Berhaji kebudayaan" adalah sebuah istilah dari budayawan Emha Ainun Nadjib untuk menggambarkan tentang seseorang yang melaksanakan ibadah haji bukan karena kewajiban untuk menyempurnakan rukun islam, tetapi lebih kepada mencari gelar keagamaan yang berfungsi mengamankan posisinya di dalam masyarakat. Biarpun gelar tersebut sama sekali belum mencerminkan perbuatan dan tak memberikan perubahan dalam hal keimanannya.

Untuk status pendidikan, gelar akademik adalah jaminan untuk mendapat pengakuan bahwa seseorang itu adalah intelektual. Oleh karenanya, tak mengherankan jika di Aceh, seseorang berusaha memanfaatkan semua lini dan menempuh segala cara untuk mendapatkan gelar akademik sebanyak mungkin, tak peduli apakah gelar itu didapatkan sesuai dengan kemampuan atau gelar itu didapatkan secara legal atau tidak, namun bagi mereka yang terpenting disamping namanya tercantum banyak gelar.

Kondisi ini diakibatkan oleh penomena yang terjadi dewasa ini, dimana telah terjadi pengakuan dan penghormatan yang berlebihan terhadap gelar. Kondisi ini kemudian menyeret seseorang menempuh cara-cara yang belum tentu benar dalam memperoleh gelar, seperti lahirnya proses-proses "industrialisasi gelar", di mana gelar dapat diproduksi secara massal dan menjadi barang (commodity) yang dapat diperjual belikan dengan mudah layaknya barang dagangan lainnya dipasar.

Gelar akademik adakala didapat bukan dari kerja keras dengan menunjukkan kemampuan intelektualnya, akan tetapi lebih pada menonjolkan kemampuan ekonomi dan kekuatan seseorang. Dimana para penjual jasa (gelar) siap memberi pelayanan mulai dari ujian final di universitas sampai membuat skripsi, thesis dan bahkan mengeluarkan ijazah tanpa harus mengikuti proses belajar mengajar yang layak.

Gambaran diatas merupakan suatu wabah yang menyerang masyarakat Aceh dewasa ini, terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai pejabat publik, pada umumnya haus akan gelar, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan berbagai gelar akademik untuk mendongkrak populeritasnya dan nilai jual sehingga mereka tak mempedulikan cara yang ditempuhnya benar atau tidak.

Saya kira ada dua faktor yang menyebabkan industrialisasi gelar terus merajalela. Pertama, pengakuan dan penghormatan terhadap gelar yang sangat berlebihan. Penghormatan dan pengakuan gelar anatar masyarakat negara indonesia secara umum dan khususnya Aceh dengan masyarakat di negara-negara maju sangat berbeda, masyarakat kita masih menganggap gelar akademik sebagai sesuatu yang sangat glamor.

Kalau di negara-negara maju, gelar akademik cukup hanya ditempatkan pada Curriculum Vitae atau data diri atau biodata saja, disini malah sebaliknya, bahwa dimana pun namanya dicantumkan maka gelarpun wajib disertai sebab apabila tidak mencantumkan semua gelar, maka seseorang akan dianggap sebagai orang yang tidak menghargai studinya. Artinya jika seseorang memliki gelar sarjana (S1) dan Master (S2) maka kedua gelar tersebut harus tercantum secara bersamaan. Begitu juga jika seseorang memiliki gelar doktorat (S3) maka masih harus menggunakan gelar sarjana dan master biar telihat lengkap.

Kedua, gelar akademik dijadikan sebagai sebuah penegasan (claim) dari wilayah kekuasaan para intelektual. Di negara kita intelektual tak bergelar (organic) sangat sulit mendapat pengakuan, sebab di sini tingkat kemampuan intelektual seseorang diukur dari berapa banyak label akademik yang tercantum pada nama, disamping seberapa banyak istilah asing yang di-bahasa-kan dalam setiap tulisan dan pembicaraannya. Karena yang membuat mereka semakin berkelas (exclusive) dan mendapat wilayah kekuasan (otoritas) baru adalah gelar dan bahasa.

Kita sepertinya memang diajarkan untuk menghormati simbol (gelar, status sosial) dan materi di samping tentunya pangkat yang berarti kekuatan (power), sedangkan akhlak sering ditempatkan pada urutan nomor paling belakang. Kita sering diperkenalkan berbagai pola manipulasi dari mutu intelektual dan otoritas seseorang dalam masyarakat. Jika seseorang ingin mempunyai kedudukan lebih, cukup dengan menggunakan simbol tertentu dan menunjukkan kemampuan materi.

Pengaruh Gelar terhadap kehidupan rakyat

Dalam konteks ini, kita coba membandingkan pengaruh gelar dengan kondisi kehidupan masyarakat di Aceh. Kita bisa melihat berapa banyak Aneuk Nanggroe yang hari ini memiliki berbagai gelar akademik. Mulai dari sarjana sampai doktorat dengan berbagai disiplin ilmu. Namun pertanyaannya adakah kehadiran mereka membawa pengaruh yang positif terhadap kehidupan anak bangsa? Layaknya manusia bergelar di negara lain walaupun tak memamerkan gelar tapi mampu berkontribusi terhadap pembangunan bangsa dan negara.

Jawabannya tentu tidak apabila berpatokan pada konsep-konsep pembangunan yang dilahirkan oleh intelektual bergelar. Sebab kehadiran mereka belum mampu memberi solusi terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat. Mereka lebih disibukkan oleh mencari penambahan gelar ketimbang berbuat untuk rayat. Kita belum mendengar para intelektual bergelar merumuskan konsep-konsep melalui kajian dan penelitian. Yang terlihat malah pemandangan kontradiktif, dimana kehidupan masyarakat yang semakin korup dan masih tingginya tingkatan masyarakat buta huruf.

Melihat kenyataan ini, tak salah bila ada masyarakat yang berani memplsetkan makna dari gelar-gelar itu sendiri. Misalnya gelar MBA yang tidak diartikan sebagai Magister Bussiness of Amerika tapi sebaliknya diterjemahkan menjadi Meulaboh Banda Aceh dan sebagainya. Kondisi tersebut juga semakin menguatkan tuduhan bahwa semakin banyak gelar yang disandang seseorang maka semakin pandai pula dia melakukan hal-hal yang manipulatif. Entahlah.

Yang jelas, penghormatan terhadap gelar dan materi terlihat semakin mengakar di dalam masyarakat Aceh. Pada kebanyakan tempat, pada umumnya dalam melihat kemampuan seseorang adalah dari berapa mahal pakaian yang dikenakan, merek apa jam tangan, handphone, sepatu dan mobil apa yang mereka pakai dan tingkatan gelar akademik yang disandang. Seseorang boleh pandai, tetapi tanpa kekuatan materi dan gelar yang diperlihatkan, dia akan dikatakan bodoh oleh kawannya, tetangga, bahkan keluarganya.

Saya kira para intelektual bergelar harus bekerja keras merubah pemahaman tersebut, yaitu dengan cara menghasilkan konsep-konsep pembangunan melalui penelitian dan kajian mendalam tentang upaya menjawab persoalan demi persoalan rakyat. Dan tak perlu terlalu ambisus mengejar gelar apabila kemampuan diri belum mampu menanggung beban yang terdapat pada gelar tersebut karena hal tersebut akan menjadi bumerang terhadap diri sendiri.

Dan sudah saatnya kita menempatkan akhlak pada urutan nomor urut paling depan dengan meninggalkan penghormatan yang berlebihan terhadap simbol, materi dan pangkat, sehingga industrialisasi gelar tidak perlu terjadi. Sebab saat ini yang dibutuhkan oleh rakyat dari para intektual bukan hanya label S1, S2 dan S3 tetapi kontribusi nyata terhadap pembangunan bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.