Home » » Industrialisasi Gelar

Industrialisasi Gelar

Property Pribadi Suriya-aceh Info-Anak-MeulabohDoc. Pribadi Ilustrasi Gambar Blog Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh: Industrialisasi Gelar
Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh Industrialisasi Gelar - “Berhaji kebudayaan" adalah sebuah istilah dari budayawan Emha Ainun Nadjib untuk menggambarkan tentang seseorang yang melaksanakan ibadah haji bukan karena kewajiban untuk menyempurnakan rukun islam, tetapi lebih kepada mencari gelar keagamaan yang berfungsi mengamankan posisinya di dalam masyarakat. Biarpun gelar tersebut sama sekali belum mencerminkan perbuatan dan tak memberikan perubahan dalam hal keimanannya.

Untuk status pendidikan, gelar akademik adalah jaminan untuk mendapat pengakuan bahwa seseorang itu adalah intelektual. Oleh karenanya, tak mengherankan jika di Aceh, seseorang berusaha memanfaatkan semua lini dan menempuh segala cara untuk mendapatkan gelar akademik sebanyak mungkin, tak peduli apakah gelar itu didapatkan sesuai dengan kemampuan atau gelar itu didapatkan secara legal atau tidak, namun bagi mereka yang terpenting disamping namanya tercantum banyak gelar.

Kondisi ini diakibatkan oleh penomena yang terjadi dewasa ini, dimana telah terjadi pengakuan dan penghormatan yang berlebihan terhadap gelar. Kondisi ini kemudian menyeret seseorang menempuh cara-cara yang belum tentu benar dalam memperoleh gelar, seperti lahirnya proses-proses "industrialisasi gelar", di mana gelar dapat diproduksi secara massal dan menjadi barang (commodity) yang dapat diperjual belikan dengan mudah layaknya barang dagangan lainnya dipasar.

Gelar akademik adakala didapat bukan dari kerja keras dengan menunjukkan kemampuan intelektualnya, akan tetapi lebih pada menonjolkan kemampuan ekonomi dan kekuatan seseorang. Dimana para penjual jasa (gelar) siap memberi pelayanan mulai dari ujian final di universitas sampai membuat skripsi, thesis dan bahkan mengeluarkan ijazah tanpa harus mengikuti proses belajar mengajar yang layak.

Gambaran diatas merupakan suatu wabah yang menyerang masyarakat Aceh dewasa ini, terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai pejabat publik, pada umumnya haus akan gelar, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan berbagai gelar akademik untuk mendongkrak populeritasnya dan nilai jual sehingga mereka tak mempedulikan cara yang ditempuhnya benar atau tidak.

Saya kira ada dua faktor yang menyebabkan industrialisasi gelar terus merajalela. Pertama, pengakuan dan penghormatan terhadap gelar yang sangat berlebihan. Penghormatan dan pengakuan gelar anatar masyarakat negara indonesia secara umum dan khususnya Aceh dengan masyarakat di negara-negara maju sangat berbeda, masyarakat kita masih menganggap gelar akademik sebagai sesuatu yang sangat glamor.

Kalau di negara-negara maju, gelar akademik cukup hanya ditempatkan pada Curriculum Vitae atau data diri atau biodata saja, disini malah sebaliknya, bahwa dimana pun namanya dicantumkan maka gelarpun wajib disertai sebab apabila tidak mencantumkan semua gelar, maka seseorang akan dianggap sebagai orang yang tidak menghargai studinya. Artinya jika seseorang memliki gelar sarjana (S1) dan Master (S2) maka kedua gelar tersebut harus tercantum secara bersamaan. Begitu juga jika seseorang memiliki gelar doktorat (S3) maka masih harus menggunakan gelar sarjana dan master biar telihat lengkap.

Kedua, gelar akademik dijadikan sebagai sebuah penegasan (claim) dari wilayah kekuasaan para intelektual. Di negara kita intelektual tak bergelar (organic) sangat sulit mendapat pengakuan, sebab di sini tingkat kemampuan intelektual seseorang diukur dari berapa banyak label akademik yang tercantum pada nama, disamping seberapa banyak istilah asing yang di-bahasa-kan dalam setiap tulisan dan pembicaraannya. Karena yang membuat mereka semakin berkelas (exclusive) dan mendapat wilayah kekuasan (otoritas) baru adalah gelar dan bahasa.

Kita sepertinya memang diajarkan untuk menghormati simbol (gelar, status sosial) dan materi di samping tentunya pangkat yang berarti kekuatan (power), sedangkan akhlak sering ditempatkan pada urutan nomor paling belakang. Kita sering diperkenalkan berbagai pola manipulasi dari mutu intelektual dan otoritas seseorang dalam masyarakat. Jika seseorang ingin mempunyai kedudukan lebih, cukup dengan menggunakan simbol tertentu dan menunjukkan kemampuan materi.

Pengaruh Gelar terhadap kehidupan rakyat

Dalam konteks ini, kita coba membandingkan pengaruh gelar dengan kondisi kehidupan masyarakat di Aceh. Kita bisa melihat berapa banyak Aneuk Nanggroe yang hari ini memiliki berbagai gelar akademik. Mulai dari sarjana sampai doktorat dengan berbagai disiplin ilmu. Namun pertanyaannya adakah kehadiran mereka membawa pengaruh yang positif terhadap kehidupan anak bangsa? Layaknya manusia bergelar di negara lain walaupun tak memamerkan gelar tapi mampu berkontribusi terhadap pembangunan bangsa dan negara.

Jawabannya tentu tidak apabila berpatokan pada konsep-konsep pembangunan yang dilahirkan oleh intelektual bergelar. Sebab kehadiran mereka belum mampu memberi solusi terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat. Mereka lebih disibukkan oleh mencari penambahan gelar ketimbang berbuat untuk rayat. Kita belum mendengar para intelektual bergelar merumuskan konsep-konsep melalui kajian dan penelitian. Yang terlihat malah pemandangan kontradiktif, dimana kehidupan masyarakat yang semakin korup dan masih tingginya tingkatan masyarakat buta huruf.

Melihat kenyataan ini, tak salah bila ada masyarakat yang berani memplsetkan makna dari gelar-gelar itu sendiri. Misalnya gelar MBA yang tidak diartikan sebagai Magister Bussiness of Amerika tapi sebaliknya diterjemahkan menjadi Meulaboh Banda Aceh dan sebagainya. Kondisi tersebut juga semakin menguatkan tuduhan bahwa semakin banyak gelar yang disandang seseorang maka semakin pandai pula dia melakukan hal-hal yang manipulatif. Entahlah.

Yang jelas, penghormatan terhadap gelar dan materi terlihat semakin mengakar di dalam masyarakat Aceh. Pada kebanyakan tempat, pada umumnya dalam melihat kemampuan seseorang adalah dari berapa mahal pakaian yang dikenakan, merek apa jam tangan, handphone, sepatu dan mobil apa yang mereka pakai dan tingkatan gelar akademik yang disandang. Seseorang boleh pandai, tetapi tanpa kekuatan materi dan gelar yang diperlihatkan, dia akan dikatakan bodoh oleh kawannya, tetangga, bahkan keluarganya.

Saya kira para intelektual bergelar harus bekerja keras merubah pemahaman tersebut, yaitu dengan cara menghasilkan konsep-konsep pembangunan melalui penelitian dan kajian mendalam tentang upaya menjawab persoalan demi persoalan rakyat. Dan tak perlu terlalu ambisus mengejar gelar apabila kemampuan diri belum mampu menanggung beban yang terdapat pada gelar tersebut karena hal tersebut akan menjadi bumerang terhadap diri sendiri.

Dan sudah saatnya kita menempatkan akhlak pada urutan nomor urut paling depan dengan meninggalkan penghormatan yang berlebihan terhadap simbol, materi dan pangkat, sehingga industrialisasi gelar tidak perlu terjadi. Sebab saat ini yang dibutuhkan oleh rakyat dari para intektual bukan hanya label S1, S2 dan S3 tetapi kontribusi nyata terhadap pembangunan bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.

0 Responses to komentar:

Post a Comment

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Peraturan Berkomentar
[1]. Dilarang menghina, Promosi (Iklan), Menyelipkan Link Aktif, dsb
[2]. Dilarang Berkomentar berbau Porno, Spam, Sara, Politik, Provokasi,
[3]. Berkomentarlah yang Sopan, Bijak, dan Sesuai Artikel, (Dilarang OOT)
[3]. Bagi Pengunjung yang mau tanya, Sebelum bertanya, Silakan cari dulu di Kotak Pencarian

“_Terima Kasih_”