Maka keputusan Presiden Vladimir Putin untuk melancarkan aksi militer terhadap Ukraina, harus dibaca sebagai tanggapan terhadap AS dan NATO yang dipandang tidak responsif terhadap aspirasi geopolitik Rusia terkait negara-negara yang berbatasan langsung dengan negara beruang merah tersebut, terutama negara-negara pecahan Uni Soviet. Salah satunya adalah Ukraina.
Maka aksi Rusia terhadap Ukraina, merupakan tanggapan terhadap negara-negara adikuasa seperti AS dan NATO yang dipandang Rusia tidak responsif untuk mengadakan dialog yang normal dan konstruktif terkait penyelesaian konflik di Ukraina. Sebab sejak lengsernya pemerintahan Presiden Viktor Yanukovich pada 2014, arah kebijakan luar negeri Ukraina lebih condong ke blok AS dan Uni Eropa.
Rasa superior AS dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NATO itulah, yang jadi faktor penyebab terciptanya jalan buntu menuju penyelesaian damai ihwal Ukraina secara damai lewat meja perundingan diplomatik. Sehingga berujung pada putusan Presiden Putin untuk melancarkan aksi militer terhadap Ukraina.
Sejak bubarnya Uni Soviet pada 1991, AS praktis merasa dirinya sebagai kekuatan hegemoni global dan polisi dunia. Karena merasa dengan bubarnya Uni Soviet, Rusia tidak lagi dipandang sebagai pesaing yang seimbang bagi negara Paman Sam itu.
Namun demikian, sikap AS sebagai kekuatan hegemoni tunggal tersebut, pada saat yang sama mengandung sebuah paradoks.
Ketika AS semakin agresif menguasa negara-negara di pelbagai kawasan dunia dalam skema penjajahan gaya baru, pada saat yang sama Rusia tetap dipandang sebagai penghalang utama tujuan strategis AS mewujudkan dirinya sebagai sebuah imperium.
Salah satunya adalah sikap tegas Rusia untuk tampil sebagai kekuatan penyeimbang menghadapi upaya AS dan NATO untuk menggusur pemerintahan Presiden Bashar al Assad di Suriah. Keberhasilan Rusia menciptakan equilibrium atau penyeimbang, maka gerakan-gerakan pemberontakan Free Syrian Army atau Jabal-al-nusra yang didukung dari belakang layar oleh AS dan NATO, barang tentu amat menggusarkan para penentu kebijakan keamanan nasional di Washington. Sebab dengan begitu, operasi intelijen AS untuk menciptakan perubahan kekuasaan di Suriah gagal total sampai hari ini. Padahal krisis Suriah tersebut sudah berlangsung sejak 2011.
Pada sisi lain, Cina sebagai adikuasa baru yang saat ini mampu menyamai AS dan beberapa negara industri maju di Eropa Barat, juga dipandang AS sebagai kekuatan baru yang bermaksud mengubah tatanan global yang berlaku saat ini. Sehingga pada giliranya Cina bisa menjadi kekuatan alternatif untuk mengancam kepentingan kekuatan kapitalis global berbasis korporasi.
Apalagi ketika negara-negera dunia ketiga yang menjalin aliansi stratetegis baik dengan Rusia maupun Cina seperti Venezuela, Iran, Kuba, Nikaragua, Kuba, dan Suriah, telah menjalin kesepakatan untuk menolak mengikuti skema ekonomi yang hanya menguntungkan secara sepihak kepentingan para kapitalis global berbasis korporasi.
Dalam konteks inilah, kudeta yang dilancarkan terhadap pemerintahan Viktor Yanukovich pada 2014 atas bantuan dari AS dan Uni Eropa, merupakan bagian integral dari agresi yang dilancarkan AS dan blok Barat.
Dengan kata lain, perang dingin sejatinya masih belum berakhir meski Uni Soviet sudah bubar sejak 1991 dan Tembok Berlin sudah runtuh sejak 1989.
Namun yang paling menggusarkan Rusia adalah, ketika AS dan Uni Eropa menggunakan berbagai kelompok fasis berhaluan neo-Nazi sebagai agen-agen proxy-nya sekaligus tulang-punggung rejim baru Ukraina yang pro AS dan Uni Eropa. Anehnya, media-media arus utama di AS dan Eropa Barat, cenderung mengabaikan dan menganggap sepi beberapa kontradiksi tersebut. Satu sisi mengusung isu-isu hak-hak asasi manusia dan demokrasi, namun pada saat yang sama membenarkan keterlibatan kekuatan-kekuatan berhaluan neo-Nazi sebagai tulang punggung rejim baru Ukraina pasca lengsernya Yanukovich.
Akar soal adalah pelengseran pemerintahan Yanukovich pada 2014 karena sulit dibantah bahwa gagasan di balik kudeta tersebut menjadikan rejim baru Ukraina sebagai instrumen garis depan untuk menghadapi Rusia, bagi kepentingan NATO dan Uni Eropa.
Maka, santernya kabar bahwa Ukraina akan bergabung dengan NATO, dan adanya rencana AS untuk menyebarkan sistem pertahanan anti-rudalnya di Ukraina dan wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Rusia, dibaca oleh Moskow sebagai lonceng tanda bahaya.
Selama 8 tahun terakhir ini, rejim Ukraina yang didukung AS dan NATO, telah melancarkan genosida terhadap populasi Rusia di Donbass dan sebelah tenggara Ukraina. Lagi-lagi, fakta-fakta tersebut diabaikan oleh media-media Barat.
Bahkan ketika Wakil Presiden Joe Biden masih menjadi Wakil Presiden di bawah pemerintahan Barrack Obama, juga mengabaikan fakta-fakta tersebut. Bahkan malah mendorong putranya melakukan praktek bisnis yang menguntungkan namun tidak sah di Ukraina.
Adalah hampir 8 tahun pula, Rusia mengajukan mosi untuk penyelesaian politik atas terjadinya perang saudara di Ukraina, sebagaimana dimandatkan oleh Perjanjian Perdamaian Minsk, yang mana negosiasi itu berlangsung antara 2014 hingga 2015.
Namun rejim Kiev yang didukung AS dan Uni Eropa, menolak mosi penyelesaian damai padahal the Minsk peace accords tersebut sudah diotorisasi oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dengan demikian the Minsk peace accords secara teknis sudah dilanggar dan dianggap tidak ada. Apalagi ketika proposal perdamaian yang diajukan Putin yaitu a Europe-wide security arrangement yang dimaksudkan untuk membendung ekspansi AS dan NATO ke arah Timur sehingga menimbulkan ancaman militer terhadap Rusia, dengan segera ditolak mentah-mentah oleh Washington dan sekutu-sekutunya di Eropa.
Dengan mengabaikan a Europe-wide security arrangement maupun the Minsk peace accords, Rusia merasa terkepung oleh perkembangan dan dinamika yang berlangsung di Ukraina.
Apalagi ketika AS dan NATO makin membanjiri Ukraina dengan berbagai jenis senjata-senjata offensive dengan dalih untuk meningkatkan postur pertahanan. Seturut dengan membanjirnya persenjataan offensive ke Ukraina yang dilakukan oleh AS dan NATO, sentiment anti Rusia juga makin berkobar di daerah Donbass, yang ditujukan kepada penduduk asal Rusia.
Maka Senin 21 Februari lalu, Putin mengumumkan pembebasan Donetsk dan Lugansk sebagai republik yang tidak lagi berada dalam kendali Ukraina. Menurut Putin, seharusnya langkah tersebut diambil sejak dulu, namun tertunda karena bermaksud mematuhi the Minsk peace accords. Namun ketika AS dan blok Barat mengabaikan the Minsk peace accords, maka Putin memandang solusi damai lewat perundingan sudah tertutup.
Intinya, keberadaan rejim Ukraina yang didudukung AS dan NATO di halaman depan Rusia yang kemudian diarahkan kepada penduduk Rusia, bagi Rusia sama sekali tidak bisa diterima dan tidak bisa ditolerir. Lebih celakanya lagi, Presiden Ukraina Vladimir Zelensky makin memanaskan keadaan dengan mengancam akan mengembangkan senjata nuklir. Barang tentu dari perspektif situasi keamanaqn Rusia, hal ini merupakan lonceng tanda bahaya.
Begitupun, jika kita cermati liputan-liputan berita media-media arus utama di Barat, agresi AS dan NATO di Ukraina, yang juga merupakan rangkaian terintegrasi dengan manuver serupa di Suriah sejak 2011, sama sekali diabaikan sebagai isu berita yang penting, apalagi sebagai latarbelakang mengapa Rusia akhirnya melancarkan aksi militer terhadap Ukraina.
Padahal agresi AS dan NATO yang terintegrasi di pelbagai kawasan, pada perkembangannya telah menciptakan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan internasional. Dengan demikian, Ukraina harus dilihat dalam gambaran yang lebih besar dari strategi global AS dan NATO.
Maka masuk akal ketika Rusia menyatakan bahwa tujuan utama aksi militer ke Ukraina adalah melakukan demilitarisasi dan de-Nazi-nisasi rejim Kiev yang didukung dari belaklang layar oleh AS dan NATO. Bukan bermaksud untuk menginvasi Ukraina.
Meskipun Moskow tetap terbuka pada penyelesaian damai terkait Ukraina, namun perkembangan terkini telah bermuara pada sebuah kesadaran baru: AS sudah saatnya mengakhiri cara pandang ideologis yang bermusuhan pada Rusia dan Cina. Bahwa Pengkutuban Tunggal atau Unipolar sudah kuno, dan mulai mempertimbangkan pentingnya Tata Dunia Baru yang berdasarkan Multipolar.
Inilah tantangan utama menuju terciptanya Perdamaian dan Keamanan Internasional.
di Tulis Oleh: Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.
[Sumber: yang diambil oleh Admin Suriya-aceh Info-Anak-Meulaboh Silahkan Lihat Di→ News Theglobal-Review]
0 Responses to komentar:
Post a Comment
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Peraturan Berkomentar
[1]. Dilarang menghina, Promosi (Iklan), Menyelipkan Link Aktif, dsb
[2]. Dilarang Berkomentar berbau Porno, Spam, Sara, Politik, Provokasi,
[3]. Berkomentarlah yang Sopan, Bijak, dan Sesuai Artikel, (Dilarang OOT)
[3]. Bagi Pengunjung yang mau tanya, Sebelum bertanya, Silakan cari dulu di Kotak Pencarian
“_Terima Kasih_”