Home » » Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-6

Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-6

Property Pribadi Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh Doc. Pribadi Untuk Ilustrasi Gambar Blog Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh: Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-6
Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-6 » Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), di mana Kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa kegemilangan, juga pernah mengirimkan satu armada kecil, terdiri dari tiga kapal, menuju Istanbul. Rombongan ini tiba di Istanbul setelah berlayar selama dua setengah tahun melalui Tanjung Harapan.

Ketika misi ini kembali ke Aceh, mereka meminta bantuan sejumlah senjata, dua belas penasehat militer Turki, dan surat sepucuk yang merupakan pernyataan resmi Kekhalifahan Utsmaniyah yang menghubungkan kedua negara tersebut merupakan satu keluarga dalam Islam. Hubungan yang sangat erat dengan ini semata-mata dilandasi semangat ukhuwah Islamiyah.

Kedua belas pakar militer diterima dengan penuh penghargaan dan diberi penghargaan sebagai pahlawan Kerajaan Islam Aceh. Mereka tidak hanya ahli dalam persenjataan, siasat, dan strategi militer, tetapi juga pandai dalam bidang konstruksi bangunan sehingga mereka dapat membantu Sultan Iskandar Muda dalam membangun benteng tangguh di Banda Aceh dan istana kesultanan.

Dampak sukses Khilafah Utsmaniyah menghadang armada Salib Portugis di Samudera Hindia ini sangatlah besar. Di perbincangan mempertahankan tempat-tempat suci dan rute ibadah haji dari Asia Tenggara ke Mekah; membahas tentang kesinambungan transportasi barang-barang antara India dengan pedagang Eropa di pasar Aleppo, Kairo, dan Istambul; dan juga jalur perdagangan perdagangan utama Asia Selatan, dari Afrika dan Jazirah Arab-India-Selat Malaka-Jawa-dan ke Cina. Kesinambungan jalur-jalur antara India dan Nusantara dan Timur Jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah juga aman dari perubahan. [1]

Selain Kesultanan Aceh, sebagian besar kesultanan di Nusantara juga memiliki hubungan baik yang teramat baik dengan kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Misal, Kesultanan Buton, Sulawesi Selatan. Setelah Islam masuk Buton pada abad ke-15 Masehi, sejumlah raja Buton memeluk Islam. Salah satunya, Lakilaponto dilantik menjadi 'sultan' dengan gelar Qaim ad-Din yang memiliki arti “penegak agama”, yang dilantik langsung oleh Syekh Abdul Wahid dari Mekkah. 

Sejak itu, Sultan Lakiponto dikenal sebagai Sultan Marhum. Penggunaan gelar 'sultan' ini terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada juga yang dikutip dari penguasa Mekkah).

Jika kita bisa membaca lebih dalam literatur klasik dari sumber-sumber Islam, maka janganlah kaget jika kita akan menemukan banyak sekali kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini merupakan bagian dari kekhalifahan Islam di bawah Turki Utsmaniyah. Jadi bukan hubungan diplomatik seperti yang ada di zaman sekarang, namun hubungan diplomatik yang lebih didasari oleh kepercayaan dan ukhuwah Islamiyah. Jika satu negara Islam diserang, maka negara Islam lainnya akan membantu tanpa pamrih, hanya-mata karena kecintaan mereka pada saudara seimannya.

Bukan tidak mungkin, konsep "Ukhuwah Islamiyah" inilah yang kemudian diadopsi oleh negara-negara Barat-Kristen ( Kristen ) di abad ke-20 ini dalam bentuk kerjasama militer (NATO, Pakta Pertahanan Atlantik Utara ), dan bentuk-bentuk transportasi lainnya seperti Uni- Eropa, Persemakmuran , G-7, dan sebagainya.

Qanun Meukuta Alam Bersumberkan Islam

Salah satu letak kemenangan Kerajaan Islam Nanggroe Aceh Darussalam bisa dilihat dari peraturan positif kerajaan yang disebut Qanun Meukuta Alam. Undang-Undang Dasar Aceh ( Qanun Al-Asyi ) sendiri telah dibuat pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah II Abdul Qahhar (1539-1571 M) yang kemudian disempurnakan pada masa keemasan di Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, lalu diteruskan pada masa Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah.

Dr GWJ Drewes, seorang sarjana Belanda yang banyak membahas kerajaan Aceh Darussalam dalam salah satu hasil penelitiannya menyatakan bahwa Qanun Meukuta Alam ini terdiri dari 31 pasal, di mana empat pasal pertama memuat persyaratan, tugas dan tugas raja, pasal- pasal berikutnya. Syarat dan ketentuan para menteri, hulubalang, panglima, duta-duta, dan pejabat lainnya.

Property Pribadi Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh Doc. Pribadi Untuk Ilustrasi Gambar Blog Suriya-Aceh Info-Anak-Meulaboh: Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam Part-6
Atjeh Darussalam dengan Turki Utsmaniyah

Selain peraturan, dalam buku peraturan perundang-undangan Aceh ini juga terdapat silsilah sebagian besar raja-raja Kerajaan Aceh Darussalam, Adat Majelis Raja-Raja yang menyetujui upacara-upacara dan hari-hari besar Islam, kedudukan orang-orang yang berhubungan dengan wilayah kerajaan, adat bea dan cukai, dan lain-lain.

Artikel terkait tata letak penerimaan tamu yang beragama Islam dan yang di luar Islam di wilayah Aceh Darussalam, berikut artikel-artikel yang disediakan jika tamu tersebut terbunuh atau sedang memperbaiki sesuatu hal yang tidak menyenangkan. [2]

Qanun Meukuta Alam Kerajaan Aceh Darussalam. Sejarahwan Aceh Muhammad Said melukiskan Qanun Meukuta Alam dengan kalimat:

“Iskandar Muda telah mengadakan undangan-undangan yang terkenal dengan sebutan Adat Meukuta Alam, yang disadur dan dibuat menjadi batu-dasar kemudian kompilasi puterinya Tajul Alam Safiatuddin dan raja-raja meneruskan pembicaraan. ..Beberapa peraturan disempurnakan. Penertiban hukum yang dibangun oleh Iskandar Muda meluncurkan kemasyhurannya hingga ke luar negeri, ke India, Arab, Turki, Mesir, Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Banyak negara tetangga mengambil peraturan perundang-undangan dari Aceh untuk teladan, terutama karena peraturan itu berunsur kepribadian yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama; jadinya Adat Meukuta Alam adalah adat bersendri Syara '(Syariah).” [3]

Dipaparkan pula dengan Kerajaan Islam Brunei Darussalam di masa pemerintahan Sulthan Hasan yang dikenal sebagai Sultan yang sangat religius telah mendukung Qanun Adat Meukuta Alam Kerajaan Aceh ini sebagai pedoman peraturan negerinya.

Selain Prof. Drewes, sejarahwan Belanda lainnya yang juga membahas hukum positif kerajaan Aceh adalah KFH Van Langen yang menulis buku Hukum Negeri Aceh ( Atjehsche Staat bestuur ). Buku Van Langen ini bersumber dari dua naskah Peraturan Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu: Peraturan di dalam Negeri Aceh Bandar Darussalam (disalin dari naskah Sultan Iskandar Muda) dan Serikata Masa Paduka Sri Sultan Syamsul Alam, yang terakhir ini berkaitan dengan undangan-undangan di masa Sultan Iskandar Muda dan Sultanah Safiatuddin.

Ada banyak hal yang menarik yang mengundang undangan Kerajaan Aceh Darussalam yang disebut Qanun Meukuta Alam ini. Tata niaga perdagangan orang asing. Hal ini berlaku di pasal 18 hingga 24. Pasal 18 memberikan peraturan tentang pedagang tapi ia seorang Muslim pemanggilan seperti dari Arab, Bengali, Keling, Melayu, dan Jawa maka kompilasi baru mendarat di Aceh untuk pertama kali harus menghadap raja untuk silaturahmi dan memperkenalkan diri dengan membawa oleh-dari negerinya atau daerah asalnya.

Pasal 19 menyatakan bahwa pedagang yang beragama Islam mendapat musibah di wilayah Aceh, seperti yang ditolak atau dirampok, maka raja sendiri yang akan turun tangan, meminta petugas kerajaan untuk memperbanyak dan menerbangkannya. Jika mau melawan maka petugas kerajaan boleh membunuhnya. Tapi jika aparat kerajaan tidak mau melakukan tugasnya dengan bersungguh-sungguh atau malah berkhianat, maka hukuman pun dijatuhkan kerajaan dengan adil (Pasal 9 sampai dengan 12).

Tentang para pedagang asing yang non-Muslim, ada dalam Pasal 21 yang berbunyi:

“Jikalau orang luar yang lian agama dari agama Islam, yang ada di samping orang Hindi, tiada bisa diterima oleh orang negeri yang sedang duduk di kampungnya, bebas disuruh balik ke laut ke dalam tempat."

Ini merupakan pasal yang sangat jelas. Bagaimana jika pedagang asing non-Muslim itu membandel dan tetap masuk wilayah Aceh? Pasal 22 telah disetujui dengan menyatakan,

“Jikalau orang lain agama itu tetap tinggal juga duduk di darat ke dalam kampung orang Islam, kalau bisa celaka mati atau luka atau kena rampas hartanya di kampung itu, tempat dia bermalam, sama ada orang di kampung itu yang buat aniaya atau ada orang jahat, Kalau mati saja, luka-luka saja, kalau dirampas hartanya habis saja, tiada diterima pengaduannya oleh Raja atau Hulubalang, sebab taksirnya sendiri punya salah.”

Dan bagi warga kampung di wilayah Aceh yang berani menerima orang asing bermalam di non-Muslim, jika ketahuan maka orang itu akan didenda kafarat oleh ulama dengan mengemban tugas memberi makan sidang Jum'at atau mengajak kenduri untuk orang miskin (Pasal 23).

Jika orang itu tidak mau patuh pada ulama, maka ulama itu berhak mengadukan dia kepada Hulubalang dan Hulubalang akan menghukum orang tersebut dengan seadil-adilnya (Pasal 24).

Dalam hal lain, misal dalam perayaan hari besar agama Islam, perundangan Kerajaan Aceh pun disetujuinya. Misal, di akhir bulan Sya'ban, kompilasi shalat tarawih akan diadakan untuk pertama kali diselesaikan, maka di halaman Masjid Raya Baiturahman raja disiapkan agar dipasang meriam 21 kali pada kali lipat lima lebih sedikit.

Untuk catatan, di Aceh waktu sholat Maghrib pukul 19.00 wib. Pada setiap tanggal 1 Syawal, pukul lima pagi setelah sholat Subuh, juga dipasang meriam 21 kali sebagai tanda Hari Raya Idul Fitri. Hari Raya Haji pun demikian. Setiap hari Islam besar, acara kerajaan semarak yang sering dikunjungi oleh tamu-tamu agung dari negeri lain.

(Bersambung)

——————————————
[1] Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Terj.), Pustaka Al Kautsar, tahun 2003, hal. 258-259.
[2] Prof. Dr. GWJ Drewes; Adat Aceh; S-Gravenhage - Martinus Nijhoff; Belanda; 1958.
[3] A. Hasjmy, ibid, hal.219-220.

0 Responses to komentar:

Post a Comment

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Peraturan Berkomentar
[1]. Dilarang menghina, Promosi (Iklan), Menyelipkan Link Aktif, dsb
[2]. Dilarang Berkomentar berbau Porno, Spam, Sara, Politik, Provokasi,
[3]. Berkomentarlah yang Sopan, Bijak, dan Sesuai Artikel, (Dilarang OOT)
[3]. Bagi Pengunjung yang mau tanya, Sebelum bertanya, Silakan cari dulu di Kotak Pencarian

“_Terima Kasih_”