Islam Lengkap, Sempurna, Saling Menyempurnakan

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Islam Lengkap, Sempurna, Saling Menyempurnakan-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Islam Lengkap, Sempurna, Saling Menyempurnakan Allah subhaanahu wa ta’aala memerintahkan orang-orang beriman agar berIslam dengan masuk ke dalam ajaranNya secara totalitas. Bahkan perintah Allah subhaanahu wa ta’aala tersebut diiringi dengan keharusan menjauh dari langkah-langkah syetan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ



”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah ayat 208)

Dari sini kita dapat simpulkan bahwa di antara makna “janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan” ialah mengikuti bagian tertentu saja dari ajaran Islam. Sementara bagian lainnya mengikuti ajaran selain Islam. Sedangkan ”Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya” berarti masuk ke dalam ajaran Islam secara totalitas.

Atau berarti ”melaksanakan segenap ajaran Allah subhaanahu wa ta’aala dalam seluruh aspek kehidupan.” Baik dalam urusan kecil maupun besar. Baik itu urusan lahir maupun batin. Baik itu dalam perkara duniawi maupun ukhrawi. Entah itu aspek ideologi, moral, sosial, seni-budaya, politik, ekonomi, pendidikan, hukum, pertahanan keamanan maupun militer. Baik itu urusan kehidupan pribadi maupun kemasyarakatan.

Pendek kata tidak ada satupun gerak-gerak seorang muslim kecuali ia kembalikan pengaturannya kepada Allah subhaanahu wa ta’aala sebagai rabb, Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagai teladan maupun Islam sebagai dien (way of life). Inilah rahasia ucapan:

رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا



“Aku ridha Allah sebagai Rabb, Nabi Muhammad sebagai Rasul dan Islam sebagai Dien (jalan hidup)” (HR Muslim 2/329)

Seorang muslim tidak mungkin -misalnya- beribadah secara Islam, berideologi liberal, berakhlak sekuler, beraqidah pluralisme, berekonomi yahudi, berpolitik machiavelli. Bila seorang muslim tampil seperti itu berarti ia telah membiarkan dirinya mengalami ”split personality”. Kepribadian tidak utuh sebagai seorang muslim-mu’min. Dan inilah yang memang dikehendaki oleh musuh-musuh Allah ta’aala, yakni syetan. Mereka telah berhasil dalam menjadikan kebanyakan Bani Israil seperti itu.

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ



”Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.” (QS Al-Baqarah ayat 85)

Bani Israil merupakan kaum yang semula memperoleh banyak karunia dari Allah ta’aala namun mereka tidak pandai mensyukurinya. Sehingga mereka akhirnya dimurkai Allah ta’aala. Di antara keburukan mereka adalah mematuhi ajaran Allah ta’aala dalam hal yang mereke senangi saja. Namun dalam hal yang tidak disukai mereka mendurhakai Nabiyullah ’alaihimus salam yang menyuruh mereka. Mereka memilih-milih dan memilah-milah ajaran Allah ta’aala. Mereka tidak mau tunduk sepenuhnya kepada Allah ta’aala.

Pertarungan ideologi yang terjadi hingga dewasa ini ialah antara kalangan manusia yang cenderung ingin mentaati Allah ta’aala dan RasulNya tanpa reserve berhadapan dengan kalangan manusia yang dalam mentaati Allah ta’aala dan RasulNya bersikap seperti Bani Israil. Bilamana ajaran tersebut dirasa sesuai dengan seleranya, maka mereka mentaati.

Namun bila dianggap tidak cocok, baik dengan selera maupun kemodernan zaman, maka mereka akan mengatakan bahwa Islam tidaklah seperti itu. Mereka melabelnya sebagai Islam yang menyimpang, radikal, ekstrim dan berlebihan. Para penganut sejati Islam mereka juluki sebagai fundamentalis bahkan teroris yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengan kemodernan zaman dan masyarakat internasional.

Bilamana seseorang mengikuti sikap bani Israil, mengikuti Al-Kitab dengan sikap pilih-kasih, mengimani sebagian dan mengingkari sebagian lainnya, maka ia hendaknya bersiap-siap menghadapi konsekuensinya. Allah ta’aala menjanjikan dua akibat yang akan dideritanya:
  1. Kenistaan dalam kehidupan dunia serta 
  2. Dikembalikan kepada siksa yang sangat berat pada hari kiamat
Sejujurnya, kenistaan atau kehinaan di dunia tampaknya sedang melanda ummat Islam di era penuh fitnah dewasa ini. Apakah kehinaan ini semata merupakan ujian kesabaran dari Allah ta’aala dalam menghadapi kezaliman kaum kuffar yang memang sedang diberi izin Allah ta’aala untuk mendapat giliran mendominasi dunia? Ataukah ini semua merupakan buah dari sikap ummat Islam yang mengikuti jejak Bani Israil? Jangan-jangan mereka mengimani sebagian Al-Qur’an dan mengingkari sebagian lainnya sehingga kehinaan merupakan konsekuensi yang dijanjikan Allah ta’aala pasti terjadi.

Jika demikian adanya, alangkah mengerikannya nasib ummat Islam dewasa ini. Sudahlah mereka terhina di dunia akibat bersikap pilih-kasih terhadap ajaran Islam sambil berfaham liberal dan sekuler. Sedangkan di akhirat kelak siksa yang sangat berat menanti mereka. Na’udzubillahi min dzaalika.


[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News eramuslim]

Kenapa Kajian Islam Mandeg?

Property Pribadi Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: "-Kenapa Kajian Islam Mandeg?-"
Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Kenapa Kajian Islam Mandeg? Kesan saya, kajian Islam di perguruan tinggi kita mandeg. Akibatnya, yang terjadi hanya repetisi dan daur ulang yang membosankan.

Salah satu pendekatan kreatif atas warisan intelektual Islam klasik dipertunjukkan filsuf dan pemikir Maroko, Dr. Muhammad 'Abid al-Jabiri. Tetralogi "Kritik Akal Arab"-nya (Naqd al-‘Aql al-‘Arabi), merupakan salah satu monumen kajian yang akan dikenang sepanjang masa.

Seorang teman meneruskan “undangan untuk makalah” (call for paper) dari International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), lembaga kajian Islam warisan Prof. Syed Naguib Alatas yang kini berafiliasi dengan International Islamic University, Malaysia. Lembaga ini akan mengadakan seminar internasional tentang warisan intelektual Ibn Khaldun (1332-1406) pada November akhir tahun ini.

Saya ingin sekali universitas Islam Indonesia mengadakan seminar seperti itu, untuk menggali kekayaan tradisi intelektual Islam klasik. Mungkin saya salah, tapi tampaknya kajian serupa di sejumlah universitas Islam dalam negeri kurang bergairah, kurang mencakup spektrum yang luas, dan kurang mengembangkan pendekatan kreatif.

Di Indonesia saat ini, jarang ada sarjana Muslim yang menguasai cabang-cabang tertentu secara mendalam dan konsisten. Di antara yang sedikit itu, ada Dr. Kautsar Azhari Noer (UIN Jakarta) yang konsisten mengkaji Ibn 'Arabi. Ada lagi Dr. Mulyadi Kertanegara (UIN Jakarta) yang menguasai Ibn Sina dan filsafat Islam klasik. Ada lagi Dr. Muhammad Machasin (IAIN Yogyakarta) yang mengkaji al-Qadli Abdul Jabbar, pemikir penting Muktazilah. Ada Dr. Amin Abdullah (IAIN Yogyakarta) yang mengkaji Al-Ghazali, tapi kurang mengembangkan kesarjaan tentang al-Ghazali.

Itu nama-nama yang saya kenal. Mungkin masih banyak yang luput dari perhatian saya. Kita belum mengenal seorang yang mengkaji, misalnya, al-Ghazali dengan dedikasi tinggi dan pengetahuan yang mendalam seperti Dr. Sulaiman Dunya (Mesir) dan Dr. Michael Marmura (Kanada) yang baru-baru ini menerbitkan “Tahafut al-Falasifah” dalam edisi Inggris.

Kesan saya, kajian Islam di perguruan tinggi kita mandeg. Akibatnya, yang terjadi hanya repetisi dan daur ulang yang membosankan. Salah satu pendekatan kreatif atas warisan intelektual Islam klasik dipertunjukkan filsuf dan pemikir Maroko, Dr. Muhammad 'Abid al-Jabiri. Tetralogi "Kritik Akal Arab"-nya (Naqd al-‘Aql al-‘Arabi), merupakan salah satu monumen kajian yang akan dikenang sepanjang masa. Al-Jabiri bisa melakukan itu karena mengenal perkembangan teori-teori sosial dan humaniora mutakhir yang berkembang di Perancis. Dia bukan hanya mengerti teori, tetapi secara kreatif memakainya untuk menganalisis sejarah intelektual dan pemikiran serta praktek politik Islam.

Saya ingin menyebut cabang pengetahuan yang penting, yaitu 'ulum al-Qur'an, ilmu Quran. Pengamatan saya, kajian ilmu Qur'an mandeg pada metode dan pendekatan klasik yang telah dikembangkan Al-Suyuthi dalam "al-Itqan", al-Zarkasyi dalam "al-Burhan", dan semacamnya. Karya-karya modern seperti yang ditulis Subhi al-Shalih atau Manna' al-Qatthan, hanya repetisi dari pendekatan klasik dan tidak mengembangkan metode baru. Sarjana Muslim yang mengembangkan pendekatan baru dan kreatif dalam kajian Qur'an sangat sedikit. Di antaranya Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Fareed Essack, Mahmoud Ayoub, dan Abdullah Said (baru-baru ini menerbitkan buku yang cukup penting, "Interpreting Qur'an"). Sayang, orang-orang ini dimusuhi pemikirannya di kalangan perguruan tinggi Islam.

Kemandegan kajian Islam di Indonesia hampir merata di semua cabang. Cabang-cabang "ortodoks" yang mestinya menjadi kajian unggulan pun, tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Kajian fikih, ushul fikih, atau tafsir, juga tak ada terbososan yang penting. Baik di pesantren atau di perguruan tinggi, kajian-kajian itu tak menunjukkan perkembangan berarti. Setelah generasi Imam Nawawi Banten dari abad 19, hingga saat ini, belum pernah ada karya penting yang ditulis orang Indonesia, baik di bidang fikih atau ushul fikih. Tapi dalam tafsir, kita melihat geliat cukup menarik. Sekurang-kurangnya ada dua tafsir penting yang ditulis sarjana Indonesia dalam lima dekade terakhir, yakni tafsir al-Azhar Hamka, dan Al-Mishbah Quraish Shihab. Dari keduanya, tafsir Quraish layak dicatat karena sudah mencerminkan perkembangan mutakhir dalam pendekatan terhadap Qur’an.

Di tengah-tengah kemandegan seperti ini, keadaan kian diperburuk oleh kecenderungan menghakimi pendapat yang berbeda, kadang-kadang sampai ke tingkat "pengkafiran". Menurut saya, perkembangan seperti ini hanya akan membunuh kreativitas dalam perguruan tinggi Islam. Yang menyedihkan, diskursus akademik yang bersifat "spesialis" dihakimi secara demagogis melalui "mimbar awam" seperti khutbah Jumat, ceramah-caramah di majelis taklim, atau lewat majalah-majalah populer seperti Sabili dan Hidayatullah.

Padahal, salah satu syarat penting perkembangan suatu kajian adalah otonomi yang cukup serta kebebasan akademik yang memadai. Jika universitas diintervensi oleh tekanan publik "beriman" karena mengembangkan pendekatan yang tidak ortodoks, atau suara-suara sarjana dihakimi semena-mena menurut standar "keimanan", maka universitas akan mengalami impasse atau kemandegan.

di Tulis Oleh: Ulil Abshar-Abdalla 30/05/2006