Home » » Gentrifikasi Dalam Geopolitik

Gentrifikasi Dalam Geopolitik

Property Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Ilustrasi doc. Pribadi © Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh: Gentrifikasi Dalam Geopolitik

Telaah Kecil Asymmetric War

Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Gentrifikasi Dalam Geopolitik Gentrification atau gentrifikasi menurut KBBI diartikan sebagai imigrasi penduduk kelas (ekonomi) menengah ke wilayah kota yang buruk keadaannya, atau baru saja diperbaiki, atau dipermodern.

Tidak ada hal urgen dalam definisi tersebut. Biasa saja. Sebab, gentrifikasi dianggap fenomena atas evolusi yang pasti terjadi di setiap kota/wilayah, mengapa? Sebab, persepsi publik menilai gentrifikasi identik urbanisasi. Sekadar perpindahan penduduk dari desa ke kota. Tidak salah, hanya kurang akurat.

Tatkala ia dikaji dari perspektif geopolitik, maka akan mulai nampak hidden agenda terutama bila gentrifikasi dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masive. Asumsinya adalah, bahwa ada ‘sesuatu’ yang bukan sekadar urbanisasi. Memang perlu diskusi secara menukik, inside, serta meluas guna membuat terang asumsi.

Secara geopolitik, ia gentrifikasi bisa digolongkan varian baru lebensraum (teori ruang) atau living space yang bersifat soft/smart power, bukan hard power sebagaimana lazimnya militer di depan pada implementasi teori ruang. Gentrifikasi itu fenomena perpindahan penduduk antarnegara, bukan di internal negara.

Jadi, dari sisi pola - gentrifikasi merupakan modus baru lebensraum secara nirmiter. Asymmetric war. Dan secara substansif, ia dianggap (teori ruang) inti geopolitik. Basis pemikirannya, “Manusia butuh negara dan negara butuh ruang hidup”. Itu filosofi tua dari geopoliik.

Gentrifikasi dinilai sebagai inovasi terbaru teori ruang (living space) atau lebensraum dengan target mengubah pribumi mayoritas menjadi minoritas. Bahkan bisa jadi, suatu saat kaum imigran justru menguasai ekonomi, pengendali politik dan kekuasaan sebagaimana terjadi di beberapa negara.

Sebagai varian lebensraum, target gentrifikasi selain menguasai ibukota suatu negara, juga melalui pinggiran. Ini seperti (teori) memakan bubur panas, atau desa mengepung kota. Dimulai dari pinggir. Tergantung kondisi terget. Memang lebih dahsyat jika kedua modus dijalankan secara bersamaan. Ya dari ibukota, dari pinggiran pun iya.

Mengapa begitu?

Ketika ibukota sudah dikuasai (asing) maka daerah lainnya soal waktu. Atau, bila wilayah pinggiran sudah dikendalikan, tinggal selangkah lagi yakni referendum sebagai (opsi) lanjutan.

Berbasis pengalaman, opsi referendum pasti diawali sebaran isu. Entah isu HAM misalnya, atau isu keadilan, demokrasi, atau isu konflik vertikal dan seterusnya. Tahap berikut adalah eksploitasi dan internasionalisasi isu agar publik global melirik, lantas dibawa ke level global cq PBB sebagai alasan diterbitkan resolusi.

Apakah gentrifikasi sebagai modus kolonialisme itu ada dan nyata, atau sekadar ilusi pengkaji geopolitik?

Gentrifikasi itu ada dan nyata, bahkan berada (existance). Keberadaan suku Maya di Amerika sebagai contoh, atau termarginalnya Aborigin di Australia, terpinggirnya suku Melayu di Singapura, Malaysia dan set mereka itu korban strategi gentrifikasi kaum imigran. Kenapa? Pribumi justru menjadi minoritas di tanah leluhurnya. Istilahnya Absentee of Lord. Tuan tanah yang tidak berpijak di tanahnya sendiri.

Maka, Bung Karno (BK) dahulu selalu menggelorakan konsepsi ruang hidup versinya:

“Bahwa orang dan tempat tidak dapat dipisahkan, rakyat dan bumi yang ada di bawah kakinya tidak dapat dipisahkan”.

Itu pokok-pokok pemikiran BK. Dan jika merujuk konsepsi BK, bangsa ini sepertinya abai geopolitik, mengapa? Sebab, selain asyik bergulat dalam kegaduhan ‘demokrasi glamor’ yaitu dinamika politik yang terlihat mewah di atas permukaan tetapi miskin substansi, karena kegaduhannya tak menyentuh kepentingan nasional; juga, bangsa ini mulai terjangkit apa yang disebut stockholm syndrom, justru jatuh cinta kepada kaum penjajah.

Bagaimana gentrifikasi selaku metode kolonialisme beroperasi?

Secara umum, datanya boleh dilihat pada Ikatan Ahli Perencanaan (IAP). Selama periode 2000-2001 luas perkotaan selain bertambah 1.100 km, juga selama 60 tahun urbanisasi populasi meningkat 4,4 persen. Puncaknya pada 2013, perkotaan di Indonesia mencapai 130 juta jiwa atau 52 persen dari total penduduk Indonesia.

Dan pada 2025 kelak, populasi perkotaan ditaksir meningkat 68 persen, kata Bernie, Ketua IAP kepada Kompas.com (4/10/2016). Namun, itu data umum serta prakiraan IAP tanpa merujuk praktik dimensi ruang dari asing. Sekali lagi, IAP tidak keliru, cuma kurang akurat.

Ya. Secara asymmetric war, metode gentrifikasi dianggap berhasil di Singapura, Australia, AS dan lain-lain sebagaimana diulas sekilas di atas. Retorika pun muncul, “Berbasis pengalaman, negara mana yang kerap menggunakan pola gentrifikasi sebagai strategi?

di Tulis Oleh: M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)



[Sumber: yang diambil Admin Blog Suriya-Aceh Info Anak Meulaboh Silahkan Lihat Di News theglobal-review]

0 Responses to komentar:

Post a Comment

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Peraturan Berkomentar
[1]. Dilarang menghina, Promosi (Iklan), Menyelipkan Link Aktif, dsb
[2]. Dilarang Berkomentar berbau Porno, Spam, Sara, Politik, Provokasi,
[3]. Berkomentarlah yang Sopan, Bijak, dan Sesuai Artikel, (Dilarang OOT)
[3]. Bagi Pengunjung yang mau tanya, Sebelum bertanya, Silakan cari dulu di Kotak Pencarian

“_Terima Kasih_”